Penduduk Kota yang Baper; deskripsi singkat 14 tahun kota ini

Sumber: Instagram

Entitas metropolis itu bernama kota. Sebuah ruang sosio – kultural yang bercirikan manusia – manusia beradab, multikultural dan sedikit – banyak penduduknya melakoni gaya hidup konsumtif.

Sebagai ruang sosiologis, kota merupakan arena distingsi identitas antar kelompok kaya dan miskin, yang ditandai oleh kepemilikan barang – barang dan merek jilbabnya.

Kota menyuguhkan godaan tentang bangunan megah, hotel, tanah lapang, patung payung dan penjual somai. Kota terkadang menyilaukan orang – orang desa dengan iming – iming agar hadir disana, untuk mengadu nasib dan berharap secercah perubahan hidup yang lebih baik.

Pada umumnya kehidupan anak muda di kota – kota, di kota ini, anak muda juga dirawat dan dibesarkan oleh kopi, wifi dan foto selfie. Di lain waktu, ia ‘memburu’ pokemon, berjilbab syar’i dan ma’kafe hingga menyongsong pagi.

Memang tak bisa dipungkiri, kota ini bagai surga bagi anak - anak muda. Disana mereka dijejali pemikiran, ide, gagasan dan kreatifitas. Dari sana mereka juga menemukan gaya hidup baru(new fresh life), bahwa ma’kafe my adventure.

Belum cukup sampai di situ, fakta menunjukkan bahwa ternyata, pemuda kota ini punya ‘garis rezeki’ yang terbilang baik dibanding kota – kota lain. Salah satunya adalah anak muda bernama Dana. Ia jawara event music di stasiun televisi swasta nasional. Setidaknya torehan tersebut, perlahan mengangkat citra Kota ini dari persepsi sebagai kota yang minus prestasi, menjadi kota yang “sedikit” prestasi.

Akan tetapi, seiring perkebangan zaman, aparat biroktrat di kota ini juga cukup berhasil. Ia berhasil menciptakan konsep modern tentang birokrasi pemerintah yang baru. Caranya, dengan memutasi pejabat secara ‘marathon’ sebagai wujud darigood governanceperspektif pembangunan dunia ke-4 (!)

Namun di balik kemajuan tersebut, kini kota ini menampilkan sosoknya yang horor dan menakutkan. Bukan ketakutan karena tante Valak, apata lagi ketakutan akan Lgbt. Tapi, ketakutan yang disebabkan oleh ulah begal, perampokan di jalanan, penggusuran rumah secara massal, ketakutan akan obat terlarang dan tentu takut kehilangan jabatan (!).
Kota ini, dari sudut pandang hitam - putih.
(Doc. Pribadi)


Diantara kemajuan dan horornya kota ini, juga tak kalah mengherankan bahwa kota ini minim partisipasi warga dalam pembangunan politik perkotaan dan pendidikan politik yang etis. Secara tidak langsung, sadar atau tidak, pemimpin kota belum memberi suatu pendidikan politik yang tidak etis dan mendidik terhadap publik.

Tentu saja kita tahu secara jelas, bahwa di luar sana tak satupun terpampang wajah pimpinan dan wakil pimpinan kota dalam satu medium publistik (alat peraga spanduk). Entah itu berukuran 1 kali 1 meter ataupun yang berukuran panjang 10 dan lebar 5 meter, juga tak terlihat.

Kita di kota ini, secara vulgar, di didik dengan kesimpang siuran tanda, dengan amarah dan kebencian. Di benci sebab kalian bukan dari 'kami'. Bahwa kau dan aku adalah bagian dari mereka. Kita tak dilihat sebagai individu dalam suatu komunal bernama masyarakat, yang berhak untuk diayomi serta dikasihi.

Kita adalah generasi yang dibesarkan dari lingkungan konflik jangka pendek. Konflik yang bermuara pada kepentingan kapital dan perebutan kuasa. Di sana tak ada kebijaksanaan, toleransi apalagi cinta.

Ini serius. Bagaimanapun mereka adalah imam dan orang tua kita. Meski kota ini dilanda badai perpecahan, tapi sebijak - bijak pemimpin ialah mereka yang tak ingin jamaah atau anak - anaknya menjadi korban dari eskalasi konflik yang kini meluas ke ruang peribadatan ummat.

Saban hari, kota ini ditimpa kekagetan massal perihal siapa yang layak dan boleh mengurus rumah ibadah. Rumah ibadah itu terletak di jantung kota, di sampingnya terdapat kanal, yang mirip kanal Amsterdam di masa abad ke-16 masehi. Seantero warga kota dibuat tercengang; ada yang berdesas - desus dan mungkin saling mengunjing.

Mereka yang mendesas – desuskan sengketa rumah Ibadah, menilai, bahwa terselip dinamika politik kota yang begitu hangat (padahal pilkada masih jauh) yang menyusup di balik masalah tersebut. Adanya konflik vertikal antara oknum pejabat aparatur pemerintah kota, ditambah dengan para ‘pembisik - pembisik’ politis, semakin menambah ‘bumbu’ dari silang sengkarut konflik antar oknum aparatur pemerintah kota.

Namun pada akhirnya kota ini akan diperbincangkan, didesas - desus dan mungkin akan ditertawakan.

Diperbincangkan sebagai kota yang menyimpan kisah - kisah heroik penduduknya. Menertawakan para pengunjung kafe dan mendesas desuskan masa depan politiknya.

Kota ini diusianya yang ke - 14 tahun, Jika diibaratkan umur manusia, maka ia masih dalam proses mencari jati diri dan identitasnya sebagai siapa dan akan menjadi apa. Selayaknya masih berusia muda, baper tentu lebih dominan dibanding mengedepankan akal sehat dan intusitas.

Selamat ulang tahun yang ke - 14. Semoga kafe semakin ramai, begal tak menemukan rimba dan kelak akan melahirkan anak muda seperti Kamared Kliwon, Pejuang seperti Sang Sodancho dan preman seperti Maman Gendeng. Amin

Tapi, sepertinya kita ragu, bahwa kota ini tak memiliki tanda - tanda akan masa depan yang lebih maju (?)

Wallahu a'lam bissawab

Salam !
*kota, 15 juli 2016 ketika di tanah lapang, sedang berlangsung upacara seremony ulang tahun kota ini.