Refleksi 2 Dekade; Amarah yang Dipasung

Berawal dari Surat Keputusan Walikota Makassar (pada saat itu masih bernama Ujung Pandang) No. 900 tahun 1996 tentang penyesuaian tarif angkutan kota, gerakan demonstrasi penolakan atas kebijakan tersebut dimulai.

Puluhan massa aksi dari Forum Pemuda Indonesia Merdeka, menggelar aksi unjuk rasa di depan kampus Universitas Muslim Indonesia (UMI), Senin 8 april 1996.
Gerakan kemudian berlanjut menuju kantor DPRD Provinsi Sulawesi – selatan untuk meminta momerandum pencabutan SK penyesuaian tarif angkutan kota.

Gelora semangat unjuk rasa itu bermuara pada satu pesan; menolak setiap kebijakan yang tidak pro – rakyat. Stagnasi piranti eksekutif dan legislatif dalam menghimpun amanah rakyat, tak ayal menjadikan mahasiswa sebagai corong alternatif dalam mengawal dan menyuarakan kebijakan publik.

Pun pada saat itu, rentetan gerakan mahasiswa di bulan april tahun 1996 adalah bentuk kesadaran mahasiswa sebagai bagian dari rakyat di saat tanda – tanda krisis ekonomi akan menimpa Indonsia era rezim orde baru.

20 tahun silam peristiwa April Makassar Berdarah (Amarah) menggemparkan dunia kemahasiswaan Indonesia. Peristiwa Amarah disebut – sebut sebagai salah satu fase gerakan perjuangan mahasiswa Indonesia terbesar pasca kemerdekaan. Amarah disebut – sebut sebagai titik awal dari proses penghapusan dwi fungsi ABRI. Gerakan demonstrasi penggulingan rezim Soeharto pada tahun 1998, juga merupakan kontinuitas dari peristiwa Amarah. Amarah menciptakan perubahan struktural mendasar bagi bangsa Indonesia.

Nyaris hampir setiap tahun pasca 1996, peristiwa Amarah diperingati oleh khususnya mahasiswa UMI dan seluruh eksponen gerakan mahasiswa di seluruh Indonesia.Belum adanya kejelasan hukum siapa yang bertanggung jawab atas tragedi tersebut, memantik mahasiswa UMI untuk setiap tahunnya menggugat pelaku Amarah yang jatuh pada tanggal 24 – 25 April.

Namun pada hari ini peristiwa Amarah coba dipasungdan dihapus dari memory subjek diri mahasiswa. Diri yang pernah dilumat oleh aparatus represi negara. Jika dulu para demonstran yang menolak penyeusaian tarif angkutan kota diperhadapkan dengan tameng aparat, maka kini tameng itu berubah menjadi secarik kertas yang berisi surat larangan. Larangan yang bertujuan untuk memasung amarah, membius rasa dan mematikan nalar keberanian.

Bagaimana tidak, dikeluarkannya surat edaran tentang pelarangan memperingatihari aprilmakassar berdarahdengan meliburkan perkuliahan selama 2 hari oleh pimpinan kampus UMI terbukti, menunjukkan bahwa narasi besar sejarah april makassar berdarah coba dihapus dari ingatan mahasiswa.

Belum cukup sampai disitu, bagi mahasiswa yang berani memperingati Amarah dalam bentuk apapun, siap – siap akan dikenakan sanksi drop out (Tribun Timur, 22/04/2016). Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah mengapa sanksi akademik (Skorsing/Drop Out) akan diberikan kepada mahasiswa yang memperingati Amarah padahal notabenenya kegiatan memperingati Amarah sifatnya non – akademik ?

Tentu saja, kebijakan pimpinan kampus yang melarang peringatan Amarah bagai mencoba melukis diatas air. Alih – alih mengamini larangan, justru larangan tersebut semakin menumbuhkan semangat mahasiswa untuk memperingati Amarah. Buktinya, minggu 24 April 2016 ratusan mahasiswa tumpah ruah, di depan kampus UMI untuk memperingati dua dekade peristiwa Amarah.

Aksi Peringatan AMARAH (Foto: Tribunnews.com)


Langkah tersebut dipilih, sebab mereka tahu bahwa peristiwa april makassar berdarah belum menciptakan pengadilan bagi pelaku dan keadilan terhadap keluarga korban. Seraya berdoa agar para korban peristiwa Amarah diterima disisi Nya dan pemerintah terketuk hatinya menuntaskan kasusnya.

Meski terpaut jauh 20 tahun silam, namun ikatan genealogis mahasiswa Umi dengan peristiwa amarah tidak dapat dihentikan dengan secarik surat edaran maupun sanksi akademik. Mereka tahu bahwa cara terbaik mengenang peristiwa Amarah adalah dengan membuka mimbar demonstrasi, aksi teatrikal dan memajang spanduk melawan lupa.

Mereka adalah para katalis yang memberi peringatan kepada siapapun bahwa setiap dominasi akan menimbulkan resistensi. Dan mereka pun tahu, bahwa larangan memperingati peristiwa Amarah adalah satu diantara cara untuk memasung amarahagarhilang dari memori kolektif mahasiswa.

Meskipun aksi memperingati peristiwa Amarah yang ke – 20 Tahun dibubarkan, tapi setidaknyamereka telah berani berjubel dengan penuh amarah dan keyakinan. Keyakinan bahwa 20 tahun silam, di kampus mereka pernah terjadi genosida intelektual yang menghilangkan 3 nyawa kakak senior mereka.

Penuh dengan amarah karena misi keadilan, militansi kebenaran kian menjadi sulit dan kini dihadang oleh sanksi drop out serta segala macam ancaman yang menyertainya.

Segala bentuk kegiatan memperingati Amarah tak lain dan tak bukan bertujuan untuk menunjukkan bahwa benang kusuk penanganan kasus Amarah belum terurai jelas.

Dalam konteks tulisan ini, pimpinan kampus seyogiyanya harus berada di barisan terdepan menyuarakan keadilan, kesejahteraan dan kebebasan. Keadilan yang menyangkut hak para korban, kesejahteraan bagi aparat keamanan dan kebebasan masyarakat dalam menyampaikan aspirasinya.

Urgensitas kasus ini bukan hanya soal keadilan, akan tetapi agar bagaimana kemudian kejadian – kejadian yang serupa tidak terulang di masa akan datang

Terlepas dari pro – kontra larangan dari peristiwa memperingati peristiwa Amarah, pimpinan kampus UMI dan kampus – kampus lainnya mesti bijak dan mampuberkompromi apabila mahasiswa memperingati peristiwa Amarah dengan berbagai bentuknya.

Sebab mereka, mahasiswa, tahu betul bahwa tragedi Amarah masih menyisahkan luka sejarah yang belum tersembuhkan sampai detik ini.  Walaupun mereka hanyalah generasi ke dua dari pewaris tragedi Amarah, setidaknya mereka telah empati atas peristiwa yang pernah terjadi di kampus. Selain itu kebijakan pelarangan memperingati Amarah tentu tidak dapat dibenarkan, baik dari kaca mata mahasiswa, maupun mereka para alumni yang pada saat itu menjadi saksi peristiwa april makassar berdarah.

Memutus generasi dengan mengeluarkan surat edaran larangan memperingati peristiwa Amarah adalah suatu hal yang keliru. Bagaimana mungkin, menghilangkan sebuah tradisi dari akar asal muasalnya ?

Pasca reformasi bergulir, proses pembangunan demokrasi di perguruan tinggi sebagai pilar pembangunan bangsa, tampaknya tidak menunjukkan perubahan yang signifikan. Pelarangan untuk berkumpul dan menyampaikan pendapat (yang mana memperingati Amarah adalah salah satunya) menambah panjang daftar perguruan tinggi yang anti demokrasi. 

Pada titik ini, cita – cita untuk menumbuhkan demokratisasi yang dimulai dari kampus sepertinya hanya isapan jempol belaka. Dimensi humaniora dan imajinasi kreatif sedang ditumpulkan. Kondisi ini oleh Felix Baghi disebut sebagai “krisis tersembunyi dibalik dunia pendidikan”. Krisis yang mengancam masa depan kehidupan dan demokrasi kita akibat pendidikan yang cenderung teknis dan saintifik.

Sebagai penutup, penulis teringat sekira 6 tahun silam ketika penulis turut serta memperingati Amarah, di depan monumen Mandala, salah seorang orator dengan suara yang lantang di atas mimbar orasi memekik melalui megaphone, ia berkata “Amarah tidak akan pernah mati, amarah akan tetap hidup dalam hati !!!”.

Al – Fatiha, untuk para korban April 1996.
Wallahu A’lam Bishawab

*Tulisan ini pernah di muat di kolom opink pojoksulsel.com, 25/04/2016