Babakan baru Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) kembali dimulai. Selama 22 – 26 November HMI akan melangsungkan Kongres Ke– 29 di Pekanbaru, Provinsi Riau. Momentum kongres yang diselenggarakan dua 2 tahun sekali ini akan kembali melahirkan catatan sejarah baru untuk organisasi mahasiswa tertua dan terbesar di Indonesia dan Asia Tenggara. Organisasi yang didirikan ayahanda Lafran Pane dan kawan-kawannya ini menarik banyak pihak untuk ditelaah sebagai salah satu organisasi mahaiswa esktra universitas berbasis Islam. Bagaimana tidak, peran dan kontribusinya pada ummat dan bangsa Indonesia semakin tak terpisahkan. HMI bahkan menjadi miniatur terdekat dari bangsa yang terentang panjang dari Sabang hingga Pulau Rote.
Eksistensi HMI saat ini, juga tidak lepas dari proses panjang melalui fase Orde Lama, Orde Baru dan kini sedang berikhtiar mengawal proses reformasi .Refleksi panjang HMI telah sampai pada sebuah kesimpulan bahwa HMI tidak mungkin lagi berjudi tentang masa depan dengan larut pada romantika kejayaan masa lalu (Muh. Arif Rosyid, 2013:2).
Kejayaan HMI masa lalu, perlu ditransformasikan kembali pada hari ini tapi bukan sekadar untuk meninabobokan kader ataupun hanya menjadi bahan materi pada training – training di HMI. Namun kejayaan masa lalu para pendahulu HMI, kiranya ditransformasikan menjadi spirit bahwa mengurus HMI adalah perjuangan mengurus dan mengangkat derajat ummat.
Kini HMI menghadapi begitu banyak dilema, jaring-jaring persoalan telah menjebak kita untuk tidak memiliki sebuah jalan tunggal, jalan yang 100 % benar atau 100% salah. Dalam situasi itu, keputusan untuk tetap bekerja memang bukan keputusan yang memuaskan, tapi bisa memberi harapan. Ada saat kita perlu mengakui bahwa kita tak mampu memindahkan gunung, tapi kita bisa mengangkat batu-batu di tebing terjal.
Perubahan zaman yang begitu cepat serta dinamika organisasi yang begitu kompleks, memaksa HMI bercermin kembali tentang peran dan fungsinya dalam jagad keindonesian dan keislaman. Pada kondisi demikian menuntut HMI agar dapat menjadi problem solve serta mengantisipasi perubahan zaman bersama problem yang menyertainya.
Untuk itu dibutuhkan re-ijtihad mendalam bagi seluruh kader dan alumni yang peduli terhadap HMI, sebagai ikhtiar yang tak hentinya – hentinya untuk menyelamatkan HMI, menyelamatkan Indonesia.
Kongres Berkualitas
Strategi Kebudayaan HMI untuk Indonesia yang Berkedaulatan menjadi tajuk utama dalam kongres kali ini. Tema tersebut ibarat manifesto intelektual Muslim abad 21. Ia adalah manifest yang lahir dari anak – anak muda yang bermimpi menemukan Indonesia yang adil dan bermartabat. Sebuah bangsa yang berhak berdiri di atas kaki sendiri.
Manifesto yang tidak sekadar berisi rekomendasi – rekomendasi, akan tetapi kiranya menjadi handbook yang memuat formulasi tentang bagaimana membawa bangsa ini dalam kancah kontestasi politik global serta persiapan memasuki Masyarakat Ekonomi Asean. Untuk itu, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan lebih dahulu, sebelum HMI mencetuskan rekomendasi – rekomendasi yang sifatnya eksternal untuk dijadikan ‘peta bersama’ bagi seluruh kader HMI untuk membawa biduk organisasi ini.
Pertama, secara de jure HMI adalah organisasi berstatus independen yang bebas dari kepentingan – kepentingan parpol maupun kelompok tertentu. Maka dari itu, ditengah kontestasi politik nasional yang dinamis, meniscayakan HMI turut serta dapat mengambil peran yang berorientasi perjuangan ummat tanpa menggadaikan independensinya, HMI idealnya menjadi kelompok penekan (presure group) sekaligus alat komunikasi politik untuk mengimbangi dominasi konfigurasi politik elite.
Kedua adalah pada aras proses pembangunan Indonesia yang cenderung mengarah pada pembangunan proyek infrastruktur yang terkonektifitas, menuntut HMI agar mampu lebih protektif dan advokatif atas ekses sosial dan efek ekologis yang muncul dari akibat pembangunan tersebut.
Menurut penulis ada beberapa hal yang mesti dilahirkan pada momentum kongres HMI yang ke 29 saat ini, khusus untuk internal HMI. Pertama, melakukan reformasi struktural dan kultural dari tingkat komisariat hingga pengurus besar HMI. Salah satunya ialah memberdayakan atau bahkan mewajibkan pembentukan lembaga pengembangan profesi (LPP) di seluruh tingkatan HMI, sebagai fokus utama (selain kaderisasi) dalam usaha membangun kualitas insan cita HMI. Sebab diperlukan kreativitas serta profesionalitas kader agar dapat menyatu dalam perubahan zaman yang mengarah pada persaingan sumber daya manusia yang dimana kader HMI memiliki potensi untuk mewujudkan hal tersebut. Di samping menjunjung tinggi supremasi Konstitusi sebagai bagian dari program reformasi kultural.
Kedua menerapkan kebijakan administratif secara digital di seluruh tingkatan pengurus HMI. Misalnya pendataan kader (data base) ataupun proses rekrutmen peserta yang akan mengikuti training – training HMI, dapat dilakukan secara online.
Selain berfungsi sebagai pendataan ataupun menjadi indikator layak tidaknya komisariat cabang untuk ditingkatkan statusnya menjadi komisariat/cabang penuh. Ketiga, forum kongres mesti merekomendasikan reformulasi sistem kurikulum perkaderan HMI di seluruh jenjang pendidikan kader yang dapat beradaptasi dengan iklim akademik perguruan tinggi serta progres atas permasalahan dilikungan kader.
Salah satunya meningkatkan kualitas karya ilmiah kader, dengan cara menjadikan metode penulisan karya Ilmiah sebagai menu materi pelatihan di semua jenjang perkaderan.
Terlepas dari pro – kontra pelaksanaan kongres yang menggunakan dana APBD Provinsi Riau senilai Rp 3 miliar serta tindakan romli yang kurang terpuji, menuntut HMI mesti mempertanggung jawabkan pelaksanaan Kongres ke-29 saat ini dan mengembalikan kepercayaan publik dengan menyelesaikan kongres nantinya secara tertib, jauh dari politik trasaksional dan benar – benar memperjuangkan kepentingan masyarakat Riau secara khususnya dan bangsa Indonesia dimasa akan datang. Selamat berkongres. Bahagia HMI. (*)
* Terbit di kolom Opini Tribun Timur
* Dipublikasikan kembali untuk kepentingan dokumentasi