Tiga dua satu,
menghitung mundur dalam senyap dan gelap yang terjaga. Bukan karena alasan
tertentu. Tapi memang tak punya alasan ! mungkin hanya sekadar mendorong diri
agar tetap teringat akan perintah. Perintah yang deadlinenya kerap ditafsirkan
salah. Berkelana kesana kemari tanpa membawa alamat, hanya ditunggangi harap
yang hinggap di alam bawa sadar dan alam sadar. Sadar bahwa seseorang diluar
sana dengan postur tubuh yang ngeri, menanti tumpukan kertas yang
kami sebut sebagai tugas ! terbawah dalam alam bawa sadar, bahwa
terkadang di ruang itu, ratusan manusia keluar masuk hanya untuk mempertanyakan
masa depan akademik, beasiswa dan tak lupa menjadi ruang ekspresi untuk selfi.
Selfi, menjadi kosa kata yang lazim untuk memanfaatkan ruang dan waktu. Tak
terkecuali diruangan itu. Ruangan yang konon bebas nilai, tapi tidak bebas oleh
asap rokok, tertulis terpajang di depan pintu masuk. Mirip SPBU, dimana segala
hal yang berkaitan dengan api, harus minggat sebelum digertak.
Tiga dua satu, setiap yang berawal, mutlak akan berakhir. Hanya
persoalan waktu, kemampuan dan sebarapa sanggup dirimu menanggung malu. Malu
karena terlihat bertahun – tahun diruang itu. Malu apabila bergeser dari ruang
itu menuju ruang yang lain (baca: kampung halaman), lantas teman – teman, tetangga dan
tentunya keluarga bertanya, kapan “berakhir” nak ?. Malu ketika yang lain telah
mampu merias diri dengan seonggok rupiah yang dihasilkan dari keringat sendiri.
Malu, karena tak sadar diri bahwa, hal itu adalah sesuatu yang memalukan; memalukan bagi
mereka yang tak pernah empati akan kondisi mu. Mirip robot, yang tak
pernah empati menyentuh relung hati diri diluar dirinya. Hingga ada yang "berakhir" dengan pilu; selemabar surat keputusan (SK) berbunyi "kau dikembalikan karena tempat ini sudah tak mampu
membina mu" ! jika demikian, siap – siap saja menjadi pemalu.
Tiga dua satu, beberapa kalimat pada paragrhap ke dua diatas,
kerap menghantui, bahkan menjadi nyata disaat yang lain telah “berakhir”,
apalagi ketika yang lain itu sedang menjalani fase awal dari hidupnya; sebut
saja mereka sudah bekerja. Menjadi hantu karena ia menakut – nakuti akan
kondisi yang terjadi. Menakutkan, karena mereka yang sedang memulai fase awal
dari hidupnya, tak mampu mempertanggung jawabkan proses hidupnya di 3 – 4
tahun silam. Bukan takut akan wajah ataupun nada suara, tapi takut tak bisa
berbuat apa – apa. Berbuat namun takut salah, tak berbuat menuai kesalahan !
bagi mereka yang berada pada kenyataan demikian, hanya berharap kepada bapak –
ibu yang baik disana untuk membuka fase awal (baca; lapangan kerja) bagi mereka,
seraya menanti menjamu pagi yang dinanti. Sedari dulu, esok atau nanti, pesan
untuk segera “mengakhiri” fase ini, jelas akan menghampiri. Pesan itu, kerap
melalui telephone, yang terkasih ia berkata “segera akhiri, tahun ini atau
tahun depan”. Kerap, pesan itu tersalurkan secara langsung dengan ekspresif,
disaat – saat panas kopi bersama kepulan asap bercampur udara bersih. Tak tahu,
apa ini wanti – wanti ataukah “surprise” ? entah..
Tiga dua satu, hampir seluruh kalimat pada paragrhap ketiga diatas
adalah kenyataan usang tak tertelan bumi selama kau masih belum “mengakhiri”.
Sebuah sejarah yang terjadi dibawah kolong langit, dari sebuah keprihatinan
terhadap titipan Ilahi. Mungkin saja, sejarah itu by design dari yang Ilahi. Tapi ia tak didesign
untuk sang ilahi. Toh, mana mungkin Ia membuat sejarah untuk diri Nya ? Ia
bukan prodak sebuah sistem demokrasi yang dari dan untuk rakyat, bukan juga Vox
Populi Vox Dei ! By design sejarah itu mungkin hanya mempertegas dan menentukan
diantara mu; mana yang bersungguh – sungguh dan konsisten menyebut nama Nya dan
yang mana yang mencari ilmu hingga ke negeri china !
Satu dua tiga, menghitung berurutan dalam terang dan dengkuran
mereka yang tak terjaga. Karena alasan tertentu, bukan hanya untuk mendorong
diri agar tetap teringat perintah, tapi memang mengarang bebas adalah oase untuk sejenak melupakan
perintah, tapi tak mungkin untuk dilupa. Sembari mengharap deadline yang
ditetapkan akan terlupakan oleh si pemberi perintah. Menjejali layar kaca
dengan kata – kata, tanpa perancanaan apalagi candaan tawa. Hanya tertunggangi
oleh sebuah kesadaran tanpa alam bawa sadar bahwa, seseorang diluar sana
mencoba melalui fase hidupnya yang “tertatih”; sesekali mencium aroma buku,
menkorbankan paket data demi sedikit referensi dan pastinya menghirup aroma letih,
namun sesekali menghirup aroma kopi. Mereka menganggapnya sebagai proses !
Satu dua tiga, karena hidup bagaikan Game Duel Otak (duel sotta);
kau tak bisa memprediksi, soal apa dan seberapa banyak jawaban yang dapat kau
selesaikan dengan benar. Lalui saja setiap tahapannya karena hasil skor akhir
tidak lantas membuat mu menyerah; Duel lagi, sotta lagi. Mengingat, sebait
Risalah suci sekadar merekomendasikan agar “.......Janganlah kamu berputus asa
dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan
kaum yang kafir” tandas Ayah yusuf, dalam surah cinta berjudul yusuf ayat 87.
*****
Sekian, Mari mengarang bebas !
** Borong Raya, Makassar, 17 November 2015 pukul 02:56. Sesaat
setelah memantau akunnya, di instagram. Foto senyum dan bahagia, memang indah
dan mengulas rindu. Dan ketika "adeknya' Calon Ketua PB HMI masih
penasaran *lol*