Pemblokiran dan Pemaknaan atas Kebebasan Berpendapat; Refleksi Pemblokiran Situs Dakwah Islam


"Demokrasi meniscayakan suara publik, 
namun mereka memotong lidah siapa saja bagi yang berani untuk berbicara"
(Jurgen Habermas) 

Desas - desus wacana penyebaran ideologi dan perekrutan anggota islamic state irak and suriah (ISIS) di indonesia, mendorong pemerintah dalam ini adalah BNPT, juga semakin intens menguatkan pencegahan tersebarnya paham tersebut. Issu teroristme dan kelompok radikal kembali menyeruak, ketika disinyalir ada beberapa warga negara indonesia yang "hijrah" ke timur tengah untuk bergabung "berjihad" dengan kelompok Isis. Hal demikian membuat panik, sehingga negara memperketat setiap wni yang akan melakukan perjalanan ke timur tengah. Berbagai tindakan pencegahan dilakukan, mulai dari sosialisasi bahaya isis, penarikan buku - buku yang bernuansa ekstrimis - radikal, pengawasan terhadap organisasi keagamaan, pengamatan kegiatan keagamaan (khutbah - khutbah di mesjid) dan tindakan yang paling anyar adalah pemblokiran situs media dakwah. Atas bergabagai tindakan "keamanan" tersebut, ternyata  menimbulkan pro - kontra dipara kalangan. Terkhususnya ummat muslim.

Bahaya ISIS, yang diasosiasikan dengan ajaran kekerasan fisik maupun kekerasann simbolik ataupun terlabeli radikal - ekstrimis bukanlah  issu baru dalam iklim sosial keagamaan di  indonesia. Ditangkapnya beberapa terduga terorist oleh aparat kepolisian, menunjukkan bahwa betapa potensialnya indonesia menjadi wilayah untuk menumbuh kembangkan gagasan - gagasan radikalisme - ekstrimisme islam yang berorientasi pendirian negara berdasarkan syariah islam (Khilafiyah). Hal tersebut dikarenakan negara indonesia merupakan penduduk muslim terbanyak di dunia, lantas dianggap bukanlah suatu hal yang sulit atau  anomali  untuk membentuk kelompok - kelompok keagamaan baru.

Dalam rangka untuk memudahkan penyebaran gagasan dan mengefektifkan mission secretnya, kelompok yang dianggap radikal - ekstrimis ini mencoba membangun kekuatan dengan cara yang beragam. Salah satunya adalah menyebarkan gagasan melalui buku, diskusi - diskusi, serta media cetak dan elektronik (online). Melalui buku, mereka mengulas kesalahan dan kerancuan paham para toko mazhab (ajaran Si ulama A  sesat, misalnya) paham - paham keagamaan lain, melalui diskusi mereka mengkafirkan serta dengan media cetak dan online merupakan saluran komunikasi gagasan sebagai medium pesan dakwah; amar ma'ruf an - nahii munkar. Namun, riwayat media online (situs dakwah) beberapa kelompok keagamaan yang dianggap radikal atau ekstrimis, berakhir dengan pemblokiran oleh Kemeninfo atas perintah dari Badan Nasional Penanggulangan Terorist (BNPT). 

Pada konteks indonesia, Oleh karena pesan dakwah oleh organisasi keagamaan di ruang cyber communication (website, medsos, blogspot dll)  diinterpretasikan  memuat pesan "radikal - ekstrimis" dan mengancam integrasi bangsa, maka BNPT dengan cepat melakukan tindakan ; Blokir situs dakwah kelompok radikal - ekstrimis. Karena cepatnya tindakan tersebut, ihwal prosedur penindakan mengabaikan himbauan atau peringatan terhadap pengelola situs internet yang bernuansa radikal. Argumen yang menjadi alasan dari pemblokiran beberapa situs media dakwah, karena didasarkan pada kriteria "takfiri" yang termuat dalam catatan atau tulisan yang ada pada situs dakwah yang diblokir. Sedangkan pada tataran aturan teknis, Kemeninfo selaku "eksekutor" pemblokir, mengeksekusi pada wilayah domain yang digunakan oleh situs yang dianggap radikal. Dalam artian, BNPT hanya menyoal pada wilayah teks, sementara Kemeninfo mempersalahkan pada wilayah teknis aturan domain situs (Kanal Satu, sabtu 4 April 2015). Pemblokiran beberapa situs dakwah islam menuai komentar  dari kalangan ulama, akademisi bahkan wakil presiden. Beberapa ulama, memandang pemblokiran situs dakwah telah kontraproduktif dengan usaha pencegahan teroristme (Koran Fajar, 3 April 2015). Sementara itu, wakil presiden jusuf kalla, menyebutkan bahwa harus ada kriteria yang jelas terkait kejelasan apakah situs - situs tersebut memang masuk kategori penyebar paham radikalisme atau tidak (Koran Fajar, Rabu 1 april 2015). Dikalangan penggiat IT, memandang bahwa pemblokiran situs media dakwah islam berpotensi mencederai kebebasan dan Hak Asasi Manusia dalam menyebarkan dan mengakses informasi yang telah diatur dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.

****

Pemblokiran atas 22 situs media dakwah islam yang dipandang menyebarkan paham - paham radikal, mengundang tanya, tentang narasi demokrasi yang senantiasa kita perjuangkan dan dianut oleh negara indonesia. Kebebasan, keadilan dan persamaan yang menjadi nilai substansial dari konsep demokrasi, mengalami ambiguitas tatkala bersentuhan dengan ancaman disintergrasi bangsa. Demokrasi yang meniscayakan kebebasan mengeluarkan pendapat, mengakses dan menyampaikan informasi, seperti menjadi nihil ketika negara ternyata memberangus kebebasan informatif. Pada konteks pemblokiran situs dakwah islam, pertanyaan lazim pada aras demokrasi ialah apa dan  bagaimana  kebebasan dalam ruang demokrasi ? Apakah makna dari kebebasan informasi yang senantiasa digelorakan oleh kalangan pers dan para intelektual ? Kemudian, bagaimana efek psikologi komunikasi massa yang disebabkan dakwah pada situs islam yang terlabeli paham radikal atau ekstrimis ? Jawaban dari Pertanyaan - pertanyaan demikian mungkin dapat menjawab mengapa pemblokiran itu harus dilakukan.


Suatu prinsip fundamen dari demokrasi adalah, kebebasan berpendapat. Kebebasan berpendapat menjadi kunci, tumbuh dan berkembangnya sistem demokrasi, disamping kebebasan dan keadilan merupakan cita - cita akhir dari suatu sistem demokrasi. Namun, demokratisasi (kebebasan berpendapat) kerap kali dibumi hanguskan dengan dalih "instabilitas" seperti yang dipertontonkan pada masa rezim orde baru. Karena dalih instabilitas, setiap gagasan yang tumbuh dari semangat kebebasan berpendapat, dapat menuai pembungkaman jika terasa "menggelitik" sebuah kekuasan dan bahkan bisa berujung pada penculikan. Pers, aktivis, buruh dan para ulama acap kali menjadi korban kebebasan berpendapat. Melalui sebuah tulisan (berita), para jurnalis dituduh menyebar sebuah fitnah, suara aktivis dan kaum buruh dituduh sebagai subversif serta kaum ulama dengan dakwahnya dituduh sebagai pembawa misi politik yang berlawanan dengan negara. Pada akhirnya, kebebasan berpendapat hanyalah sebuah mimpi dari langit suci demokrasi. Ia hanya kita peroleh dari buku bacaan, pada suatu janji politik, dan lisan para dosen di ruang perkuliahan. 

Kebebasan berpendapat apapun bentuknya, juga sangat potensial jatuh pada model "anarki" apabila pemaknaan atas ruang lingkup kebebasan berpendapat menjadi kabur - blur. Cacian, makian dan fitnah berpangkal dari klaim kebebasan berpendapat yang nihil akan sebuah pemahaman dan pemaknaan. Namun, peniadaan  kebebasan berpendapat sangat mujarab untuk mematikan nuansa intelektual, yang termanifestasi pada pemutlakan gagasan atau pendapat.

Pada aras pemblokiran situs dakwah islam, kebebasan mengeluarkan pendapat (dalam hal ini pesan dakwah yang bernuansa radikal) menurut penulis, pada satu sisi merupakan instrumen politik untuk sebuah pencapaian cita - cita akan tatanan yang didamba - dambakan. Artinya, kubu kaum yang tertuduh radikal mencoba membangun suatu gagasan politik tandingan (Counter Hegemony) baik melalui dunia nyata atau dunia maya dengan berdasar pada pemahaman bahwa ia memiliki hak untuk memperjuangkan gagasannya dengan berbagai gagasan atau konsep perihal negara serta sistem sosial yang ada. Dalam hal ini, menegaskan gagasan Ernesto Laclau & Chantal Mouffe bahwa Politik Tidak sekadar “pertarungan kekuasaan” (Will to power) tetapi proses pertarungan gagasan, ide, keyakinan dan nilai – nilai; sebuah pertarungan ideologi[1]. Maka pemblokiran situs dakwah islam oleh BNPT dan Kemeninfo salah satunya bertujuan untuk mematikan gagasan - gagasan kelompok yang dinilai radikal – ekstrimis yang berpotensi menenggelamkan gagasan Pancasila dalam bingkai Khebinekaan. Disisi yang lain, dakwah islam yang dinilai bermuatan pesan radikal, secara sosial  menafikkan etika sosial keagamaan yang mengedepankan penghormatan atas keyakinan keagamaan dan sangat berpotensi memicu konflik terbuka antar ummat beragama, maupun antar ummat islam. Pertanyaannya kemudian, apakah pemblokiran situs dakwah islam menjadi dapat dibenarkan ? Jika memang dapat dibenarkan, apa argumen pembenarannya ? Disaat beberapa  aturan hukum (Rule Of Law) tidak dapat membenarkan pemblokiran tersebut. Bagi mayoritas ummat islam, memandang bahwa pemblokiran situs dakwah adalah tindakan yang mencederai suatu nilai prinsipil agama islam (dakwah) dan sepanjang tidak menimbulkan kekacauan sosial maka negara dipandang tidak berhak , melarang, membubarkan atau membubarkan setiap "ritus" kelompok keagamaan.

Ada satu pesan atau hukum keagaaman yang berbunyi; Jika 2 (dua) kebaikan datang secara secara bersamaan, maka pilihlah yang paling sedikit daya rusaknya. Jika memang pemblokiran situs dakwah islam yang tertuduh radikal menimbulkan ekses (daya rusak yang besar) terhadap ummat, maka hal tersebut dapat dibenarkan. Jika tidak, marilah kita merenungkan kembali pemblokiran situs dakwah dan makna kebebasan berpendapat yang tercederai. Salam !!



[1] Yasraf A. Piliang -  Transpolitika: Dinamika Politik di dalam Era Virtualitas (Jalasutra, 2005)