Kekerasan; No gank motor, No Cry

Kejahatan dan Keburukan muncul dari hakikat yang tersembunyi dalam dirimu[1].
~ Jalaluddin Rumi ~

Kembali membincang persoalan kekerasan yang terjadi di ruang publik kita, khususnya di jalan raya Seakan – akan narasi jalan raya yang terselimuti rasa takut, tak akan henti – hentinya. Warga masyarakat tentu merasakan efek dari beragam peristiwa kekerasan yang diduga kuat dilakukan oleh sekolompok anak muda yang menggunakan sepeda motor dalam aksinya (Kelompok Bengal). Sebuah kekerasan yang sampai saat ini, belum kita tahu akar penyebab mengapa hal demikian sangat sering terjadi. Kejadian yang membuat kita menjadi paronia akan suasana malam di ruas jalan kota. Kerinduan akan suasana aman dan tertib sangat kita rindukan, disaat ketertiban yang kita harap dari pihak yang berwenang tak kunjung hadir menghilangkan rasa takut. Lantas, akankah ini menjadi petanda bahwa kita menyerah dan taklut dalam rasa takut ?
Simulasi


Berbagai cara dan usaha terus dilaksanakan oleh pemerintah, untuk meminimalisir tindakan kekerasan yang terjadi; perampokan, pembunuhan dan pelecehan seksual dijalan raya. Kita tak tahu langkah – langkah apa yang telah dilakukan oleh mereka yang merasa bertanggung jawab atas sekelumit permasalahan ini. Sebuah langkah yang benar – benar memberi efek jera secara sosial dan hukum terhadap mereka yang telah meresahkan kita dan tentunya keluarga kita. Dan juga tentunya kita tak tahu, siapakah mereka yang telah mengumbar rasa takut, menghunuskan senjata tajam dan menjarah dagangan di pertokoan yang sesekali tersambar oleh sorotan cctv ? bisa jadi anak, saudara dan sahabat kita yang menyusup keluar dimalam hari menebar teror yang tak henti – henti.


Hati - hati pak


Perampokan, penjarahan dan sampai pada pembunuhan, merupakan sebuah tindakan kekerasan yang tidak dapat dibenarkan oleh rasa kemanusiaan (Aksioma). Apa lagi hal tersebut terjadi di jalan raya, yang merupakan sarana umum yang bebas dinikmati oleh siapa saja. Sebuah ruang, yang menjadi rantai dari proses produksi dan konsumsi perekonomian kita. Suatu lintasan yang acap mengumbar keharmonisan pasangan muda – mudi, teriakan demonstrasi anak muda, dan sarana mengais pundi – pundi rupiah oleh aparatus kita  (re; polisi lalu lintas). Namun, jalan raya hari ini mengalam disfungsi sosial ketika telah dijadikan arena untuk menakut – nakuti siapa saja yang berani melintas. Tak kenal usia tua – muda, aparat  polisi tentara, maupun profesi wartawan atau pegawai diantaranya adalah korban dari tindakan kekerasan di jalan raya. Ketika mereka yang melakukan kekerasan tertangkap, 1 – 2 hari mereka kembali dibebaskan. Entah karena alasan barang bukti yang tidak begitu kuat, ataukah mereka berada pada lingkaran orang yang “kuat”. Entah..

Studi ilmiah tentang kekerasan dijelaskan secara komprehensif oleh Jamil Salmi dalam bukunya Violence and Demokratic Society[2]. Jamil salmi membagi jenis – jenis kekerasan dalam 4 bentuk; kekerasan langsung dan tidak langsung (kekerasan karena pembiaran, dan kekerasan termediasi) Masing – masing dari bentuk kekerasan, terbagi dalam sub kategori – kekerasan. Dalam konteks kekerasan dijalan raya yang terjadi di kota dunia (re; Kota Makassar) seperti penikaman dan pencurian, diletakkan oleh jamil salmi sebagai bentuk kekerasan langsung karena menyebabkan penderitaan fisik dan psikologis seseorang (penculikan, penyiksaan, pemerkosaan dan penganiyaan, perampokan dengan pemberatan). Lain halnya ketika seseorang mengetahui atau menolak untuk menolong korban kecelakaan atau pembunuhan yang membutuhkan pertologan segera yang mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang ataukah terjadinya kelaparan oleh sekelompok manusia akibat tidak adanya satu manusiapun yang peduli atas kondisi tersebut, dikategorikan oleh jamil salmi sebagai bentuk kekerasan tidak langsung karena pembiaran (violence by omission). Jika kita akan sepakat, bahwa terjadinya kekerasan dijalan raya secara berulang – ulang adalah merupakan bentuk kekerasan karena pembiaran maka selayaknya kita mengarahkan keluhan kepada mereka yang harusnya mencegah dan bertanggung jawab atas terjadinya kekerasan – kekerasan pada ruas jalan kota.

Dan bentuk kekerasan yang terakhir adalah kekerasan yang termediasi (mediate violence) yang terjadi secara halus dan terkadang tidak disadari oleh korban. Jika dikontekskan dengan kekerasan yang terjadi dijalan raya, kekerasan termediasi dapat berupa pemberian Surat Izin Mengemudi (SIM) kepada mereka yang seharusnya tidak layak  mendapatkannya. Mungkin izin berkendara didapatkan karena tanpa melalui prosedur aturan yang berlaku (test mengemudi) yang berlangsung hanya proses korupsi, kolusi dan nepotisme dari proses pemberian izin mengemudi tersebut, sehingga membuat “Si Bengal” pelaku kekerasan dijalan raya merasa pantas “berfantasi” dijalan raya senyaman dan seenak dengkulnya. Jika demikian halnya, maka secara tidak disadari Negara tanpa sengaja memediasi kekerasan dijalan raya yang sangat populer menjadi berita media massa.
***
Wacana kekerasan pada edisi kehidupan kontemporer sangat lazim menjadi  bahan konsumsi publik dan kerap tidak memicu riuh dan gaduh suasana. Ibarat sebuah tontonan, kekerasan terkadang menampilkan parade yang “menghibur” para penonton hingga terhanyut pada ketidaksadaran bahwa apa yang tampilkan pada sebuah tontonan adalah kekerasan yang menikam kemanusiaan. pada kondisi demikian, tak ada lagi ruang bagi rasa, sense of humanity, empati kongnitif maupun empati emonsional yang terbawa hilang bersama kemesraan sebuah tontonan. Pada lanskap yang lain, kekerasan juga acap kali dikomodifikasi menjadi sebuag komoditas yang bertujuan mengakumulasi kapital dan tentunya tak luput dari usaha meningkatkan ratting suatu tayangan stasiun televisi. Kekerasan (Violence) Ia ibarat mimikri, dimana dulunya kita menolak bahkan mencaci suatu tindakan, namun berselang waktu kita bahkan turut menjadi bagian dari apa yang kita tolak dahulu.



Masih teringat pada memory ingatan kita, kekerasan demi kekerasan menitervensi kehidupan ruang sosial kita di kota makassar. Alih – alih meminimalisir kelompok para bengal di jalan raya, intensitas tindakannya pun semakin hari meningkat dan merambah wilayah geografis diwilayah perkotaan yang sebelumnya tidak pernah terjadi tindakan bengalitas. Ketegasan aparat hukum dalam menindak pelaku kekerasan di jalan raya, mutlak untuk terealisasikan agar dapat menjadi salah satu solusi meminimalisir tindakan serupa. Selain itu, memperketat pengawasan terhadap anak dan saudara – saudara kita, tidak kalah penting untuk kita hidupkan kembali.. Menciptakan lingkungan yang bernuansa edukatif, dapat menjadi bagian dari usaha memutus simpul eksistensi Kaum Bengal disekitar kita, demi No Bengal, No Cry ! Yang pada akhirnya usaha – usaha yang bertujuan meminimalir tindakan – tindakan kekerasan di jalan raya, dapat bermuara pada cinta kasih persaudaraan dalam ikatan sipakatuo, sipakainge dan sipakalebbi.  Sedikit berkait dengan tulisan ini, ada surah cinta yang berbunyi “Sesungguhnya Orang – orang mu’min adalah bersaudara karena itu, damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat (Qs Al – Hujurat; 10)

Terimah Kasih.
Salam !!!
**  Toddotoa, Gowa 28 Maret 2014, pukul 00:40.
Ditulis ketika Kordes KKN sedang mendengkur dalam tidurnya **



[1] Jaluluddin Rumi - Yang Mengenal Diri, Yang Mengenal Tuhannya, fihi ma fihi (Pustaka Hidayah, 2012)
[2] Jamil Salmi - Violence and Democratic Society (Pilar Media, 2005)