Hiruk – pikuk aktivitas
perguruan tinggi dalam beberapa hari dan
bulan kemarin menjadi sorotan hangat di berbagai media massa nasional dan local
yang menyangkut perbuatan tidak wajar oleh mahasiswa, kebijakan (regulasi), konstestasi
politik (pemilihan rektor) dan kekerasan akademik terhadap mahasiswa menjadi tren topic yang tidak luput dari kecaman serta
keprihatinan. Cita – cita mencerdaskan kehidupan bangsa dan membumikan keadilan
social bagi seluruh rakyat Indonesia, sepertinya jauh panggang dari api.
Mahalnya biaya pendidikan di perguruan tinggi, baik yang berlabelkan negeri –
swasta ataupun yang berlabelkan agama mengakibatkan terus terjadinya lingkaran
setan kemiskinan dan kemunduruan kualitas sumber daya manusia. Alih – alih mencerdaskan
kehidupan bangsa, perguruan tinggipun terjebak pada logika pasar yang cenderung
mengorientasikan kurikulum pembelajaran pada ranah industry. Dalam arti bahwa
pendidikan perguruan tinggi hari ini cenderung mencetak para pekerja yang minim
keterampilan intelektual, terbenam dalam kesadaran mistic dan pragmatis, disaat
kompleksitas permasalahan bangsa terjadi. Kontestasi ekonomi – politik global
(neo-liberalisme) turut mempengaruhi kondisi perguruan tinggi hari ini.
Regulasi pendidikan yang leberalistik, membuka kran para investor untuk
sebebasnya menjejalkan modal pada perguruan tinggi. Belum lagi permasalahan korupsi, kolusi dan
nepotisme yang tak berhulu, akhirnya menggurita dari pusat hingga daerah
di dalam tubuh perguruan tinggi.
Perguruan tinggi atau
paling akrab dimulut masyarakat adalah kampus, bukanlah sekedar ruang tempat mengais
ilmu dan pengetahuan, bukan pula ruang bisnis buku – buku para tenaga pengajar.
Tapi disana, di kampus merupakan ruang social dimana para tenaga pengajar
(dosen) dan diajar (mahasiswa) baur – membaur memproduksi ilmu pengetahuan
untuk diabdikan pada masyarakat. Namun, semakin majunya ilmu pengetahuan yang
lahir dari kampus, pada saat yang bersamaan semakin rendah pula rasa pengabdian
pada masyarakat. Meskipun hampir dalam setahun, perguruan tinggi menurunkan
para mahasiswanya ke masyarakat dalam bentuk program kuliah kerja nyata (KKN),
bakti social dan lain sebagainya, tapi hal tersebut cenderung sekedar
formalistic dari aturan system akademik yang berlaku. Pengabdian seperti itu
terkadang hanya sekedar sosialisasi aturan, acara perlombaan, membangun batas
territorial desa ataupun dusun. Namun tampaknya belum dapat menjawab permasalahan
kongkret masyarakat dan memajukan masyarakat khususnya masyarakat pedesaan
agraris. Wajar saja dalam beberapa kasus, ada kepala desa atau dusun yang
menolak pengabdian mahasiswa di desa yang dipimpinnya karena menurut
pengalamannya menerima mahasiswa untuk ber-kkn, disebabkan para mahasiswa tidak
dapat memberi sumbangsih positif dan berjangka panjang bagi pembangunan manusia
dan desa secara keseluruhan. Bahkan mungkin saja mahasiswa yang pernah
melakukan kkn didesa yang dipimpinnya nihil melaksanakan program kerja nyata.
Jika hal tersebut terjadi, kampus sebagai jenjang tertinggi pendidikan harus
menanggung rasa skeptic dari masyarakat. Lalu kemudian, apa yang mesti
dilakukan kampus agar kasus serupa tidak terulang di ruang – waktu yang berbeda
?
Meningkatkan keterampilan
pribadi, pengembangan kreativitas latar belakang program pendidikan mahasiswa,
dan tentunya meningkatkan kesadaran kritis mahasiswa pada tataran social, yang
mungkin saja adalah salah satu program yang dapat mengubah dan memajukan masyarakat.
Kampus bertanggung jawab melaksanakan program tersebut, dengan membuka kran
kebebasan terhadap mahasiswa dalam mengembangkan potensi individual. Dengan
cara membangun hubungan dialektis dengan lembaga kemahasiswaan baik intra
maupun ekstra kampus untuk mewujudkan program tersebut, dimana lembaga
kemahasiswaan diberi kebebasan, kepercayaan dan tersedianya sarana dalam
melaksanakan kegiatan yang sifatnya edukatif dan kegiatan pembobotan idealisme
mahasiswa yang tentunya bermuara pada pengabdian pada masyarakat.
Membaca perguruan
tinggi; konteks makassar
Menjalin relasi yang
ilmiah dan aspiratif dengan mahasiswa secara personalitas ataupun lembaga
kemahasiswaan intra dan ekstra kampus, sepertinya hanyalah sebuah angan jika
kita melihat perguruan tinggi hari ini. Khususnya kampus yang ada di kota
Makassar. Alih – alih membangun mitra dengan lembaga kemahasiswaan, pimpinan
kampus malah semakin menguatkan aturan
dan melarang setiap mahasiswa baru dan lama (senior) untuk mengikuti kegiatan
yang diselenggarakan lembaga kemahasiswaan intra maupun ekstra kampus. Bahkan
kampus kembali secara implisit, mengadopsi era Normalisasi kehidupan kampus
(NKK) dan badan koordinasi kemahasiswaan (BKK) ala orde baru tahun 1978, dimana
gerakan – gerakan dan aktivitas organisasi kemahasiswaan coba dibungkam dengan
seabrek aturan teknis yang nyaris melumpuhkan aktivitas politik mahasiswa.
Pun Neo-NKK/BKK kembali menjadi teks
aturan pada beberapa kampus di kota Makassar, khususnya Uin Alauddin Makassar.
Betapa tidak, Neo – NKK/BKK dalam perwujudannya di kampus Uin alauddin adalah
dikeluarkannya Surat edaran rektor uin alauddin Nomor
Un.06.00.1/PP.00.9/412/2014 mengenai pelarangan aktivitas lembaga intra kampus
diluar kampus dalam bentuk pembatasannya seperti perkaderan serta latihan dasar
kepemimpinan. Surat edaran rektor tersebut, dinilai oleh berbagai kalangan
mahasiswa sebagai perwujudan NKK/BKK, sangat jelas bertentangan dengan Pasal
28E ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi “Setiap
orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”.
Dengan demikian UUD 1945 secara langsung dan tegas memberikan jaminan kebebasan
untuk berserikat atau berorganisasi (freedom of association),
kebebasan berkumpul (freedom of assembly), dan kebebasan menyatakan
pendapat (freedom of expression), tidak hanya bagi setiap warga negara
Indonesia, tetapi juga bagi setiap orang yang artinya termasuk juga orang asing
yang berada di Indonesia[1].
Jika kita coba menerjemahkan UUD itu dalam konteks perguruan tinggi maka
“setiap mahasiswa berhak atas kebebasan, berserikat, berorganisasi dan
berdemonstrasi”. Nilai – nilai demokrasi yang terkandung dalam UUD tersebut, dalam konteks uin alauddin dan kampus – kampus
lainnya di kota Makassar, coba di redam dengan aturan serta kebijakan yang jika
dilanggar dapat berakibat pada pencabutan nilai, skorsing bahkan D.O(droup out)
mahasiswa. Tak ayal lagi, kampus dengan sendirinya membuat Negara dalam negara
dengan seperangkat aturan dan antagonism intelektual telah menjadi sikap yang
dilakoni oleh para sebagian pendidik di perguruan tinggi.
Kampus yang sering –
sering dianggap sebagai ruang demokratis tempat dimana perbedaan pendapat dan
pandangan dihargai, justru sebaliknya, anti demokrasi. Walaupun dalam ranah tertentu, demokrasi formalistik –
prosedural dijalankan, seperti pemilihan rektor dan pimpinan fakultas, tapi
substansi dari nilai demokrasi yang
menjunjung tinggi perbedaan pendapat, hak berserikat dan hak mengeluarkan
pendapat (right to speak) nihil dalam ruang – ruang aktivitas kampus yang
seharusnya menjadi entitas katalisator bagi tumbuhnya demokratisasi di tengah –
tengah masyarakat. Mahasiswa sebagai rakyat dari para pimpinan kampus, kerap
menjadi korban dari aturan yang tidak pro terhadap rakyat (mahasiswa). Hal itu
dinilai karena disebabkan pihak pimpinan kampus tidak pernah melibatkan
mahasiswa pada setiap usaha dalam merumuskan
aturan - aturan, yang dimana
mahasiswa menjadi subjek pelaku yang melaksanakan, menjalankan dan merasakan,
efek dari aturan tersebut. Seperti aturan kegiatan lembaga mahasiswa intra
kampus sampai pada aturan teknis pemilihan ketua lembaga intra kampus (BEM dan HMJ).
Namun dalam konteks kampus di kota Makassar, mengakomodir kepentingan mahasiswa
dalam perumusan aturan maupun kebijakan, sepertinya tidak diindahkan. disaat
kampus malah semakin memperlebar jarak dari mahasiswa dengan tindak represif aparatusnya.
Mahasiswa Tuhannya
Kampus
Menciptakan iklim
demokratis dalam ruang kampus yang diisi ratusan – ribuan mahasiswa yang
berbeda - beda, jelas merupakan suatu pekerjaan yang rumit akan tetapi, belum
pasti mustahil. Diperlukan managemen kepimimpan kampus yang bijak, agar setiap
usaha yang mengarah pada terciptanya ruang pendidikan yang beradab dan budaya
yang demokratis dapat terwujud. Menanggalkan ego politis kelompok pimpinan
kampus, mutlak dilaksanakan karena pada dasarnya perguruan tinggi adalah
lembaga Negara yang bebas dari intrik politik. Bersamaan dengan itu,
memaksimalkan peran serta fungsi lembaga kemahasiswaan sebagai salah satu dari
instrumen untuk mencetak mahasiswa yang paripurna, wajib kiranya indahkan oleh
kelompok pimpinan kampus.
Satu hal lagi yang
kerap luput dari perhatian pimpinan kampus, yakni ketidak sanggupan atau tidak
adanya keinginan untuk memfasilitasi ataupun menjadi mediator bagi kelompok
mahasiswa yang sedang berkonflik dengan mahasiswa lainnya yang sering terjadi
di kampus – kampus, khususnya di kota Makassar.
Dan lebih dari itu,
menurut guru besar Pemikiran Islam Uin Alauddun Prof. Dr, Qasim Mattar dalam
sebuah dialog kemahasiswaan mengatakan, mulai dari rektor, wakil rektor, dosen
dan bahkan security kampus wajib mengabdi terhadap mahasiswa sebagai tuhannya
kampus. Metafora mahasiswa sebagai tuhan di kampus bagi Prof. Qasim Mattar
bukan dalam artian bahwa mahasiswa memiliki kesamaan dengan Tuhan yang Maha
Esa, melainkan sebagai penguasa dimana stakeholder kampus harus dan tunduk patuh
terhadap mahasiswa. Selain itu, secara implisit ketika kampus sejak awal menerima
calon mahasiswa menjadi mahasiswa yang akan di didik, maka konsekuensinya pada
saat itu pula kampus bersedia mengabdi kepada mahasiswa secara ikhlas dan
sungguh – sungguh, bukan pula sekedar pengabdian dalam bentuk mendikte
mahasiswa dengan seperangkat nilai – nilai moral tertentu. Salah satu tolok
ukur menilai kesuksesan proses pembelajaran para mahasiswa di kampus, dapat
dilihat dengan bagaimana para pendidik bersikap dihadapan mahasiswa, baik di
ruang – ruang kuliah yang bersifat formal, maupun pada saat mahasiswa melakukan
aksi unjuk rasa menyangkut permasalahan yang terjadi didalam kampus. Gagal
tidaknya mahasiswa, sedikit – banyak dipengaruhi atas kegagalan tenaga pendidik
dalam mendidik mahasiswa.
Ada adagium yang terkenal
yakni, Jika kau ingin melihat kondisi sebuah bangsa, maka lihatlah kondisi
kampus sebagai miniature dari sebuah Negara. Sebuah adagium yang meletakkan
kampus bagai cerminan suatu Negara. Adagium itu benar adanya, karena hampir
semua yang dilakukan masyarakat kampus(mahasiswa, pimpinan, satpam) dikampus,
juga menjadi perilaku para politisi yang “tuli” tidak mendengar aspirasi
rakyatnya, pejabat pemerintah yang mengambil yang bukan haknya, tindakan
represif aparat keamanan (TNI - Polri)
sampai perilaku awam yang mirip dengan perilaku mahasiswa yang bodoh (apatis).
Akan tetapi, siapakah yang memberi contoh atau mempengaruhi, masyarakat kampus
dengan semua subjek didalamnya ataukah kalangan pemerintah sebagai pelaksana
Negara ?