Usai
sudah proses pemilihan presiden Indonesia yang ke tujuh. Ditandai dengan
di lantiknya Joko widodo dan Jusuf Kalla beberapa hari kemarin, sebagai presiden
Indonesia yang ketujuh. Berbagai syukuran, pesta dan seremonialitas di
laksanakan menyambut kehadiran pemimpin baru yang dinilai sebagian
kalangan adalah perwujudan rakyat kecil
dan berhasil meruntuhkan persepsi public bahwa hanya elitis saja yang dapat
meraih kursi kepresidenan di negeri ini. Pesta telah berakhir, namun pengawalan,
control, dan mengawasi program kerja presiden terpilih oleh rakyat, tetap
berlanjut dan tentunya menjadikan media massa (public sphere) sebagai salah satu sarana public yang cukup kuat dan
efektif dalam usaha – usaha mensukseskan atau bahkan mengagalkan kebijakan yang
dinilai tidak pro terhadap mayoritas rakyat.
Menjadikan media sebagai corong utama dalam
tugas pengawas serta pengawalan demokratisasi adalah bukan suatu hal yang naïf
ataupun terkesan superioristik. Di tinjau dari perjalan sejarah bangsa ini dan
bangsa di berbagai belahan dunia, media massa kerap menjadi motor utama dalam
meruntuhkan system otoriter – dictator yang memberangus kebebasan, keadilan dan
hak asasi manusia. Orde baru dimana salah satu contoh begitu kuatnya sensor
Negara terhadap pemberitaan dan mendirikan kantor berita, di counter oleh
peranan media dengan gagasan demokrasi melalui udara dan kumpulan tulisan
tangan awak media yang menyuarakan desakan agar mundurnya presiden Soeharto
dari tahta kekuasaan. Pada akhirnya pemberangusan kebebasan dan pembredelan
kantor media mendapat respon emosional
dari publik dalam menggelorakan gerakan reformasi mei 1998.
Bahkan, dalam suatu catatan konon si singa prancis, Raja Napoleon Bonaparte, lebih takut kepada pena seorang jurnalis (penulis) ketimbang ribuan tentara musuh, karena menurutynya dari sebuah tulisan bisa membakar semangat dan menggerakkan rakyat melebihi kekuatan ribuan tentara. Meski dalam catatan yang lain, pers kadang dianggap sebagai sarana dan pelayan dari kelas – kelas dominan (Politisi, Owner, Kapitalis, Borjuis) dalam masyarakat serta kerap menjadi hakim dan pendefenisi dari sebuah masalah. Hal itu sedapat mungkin menjadi kritik balik terhadap media kalangan jurnalis dan berusaha menangkal keraguan public dengan menyajikan berita yang berkualitas dan tentunya kritik atas sebuah krisis.
Bahkan, dalam suatu catatan konon si singa prancis, Raja Napoleon Bonaparte, lebih takut kepada pena seorang jurnalis (penulis) ketimbang ribuan tentara musuh, karena menurutynya dari sebuah tulisan bisa membakar semangat dan menggerakkan rakyat melebihi kekuatan ribuan tentara. Meski dalam catatan yang lain, pers kadang dianggap sebagai sarana dan pelayan dari kelas – kelas dominan (Politisi, Owner, Kapitalis, Borjuis) dalam masyarakat serta kerap menjadi hakim dan pendefenisi dari sebuah masalah. Hal itu sedapat mungkin menjadi kritik balik terhadap media kalangan jurnalis dan berusaha menangkal keraguan public dengan menyajikan berita yang berkualitas dan tentunya kritik atas sebuah krisis.
Membumikan
ideliasme
Sistem komunikasi Indonesia yang menghendaki adanya kebebasan mendapatkan informasi serta kebebasan dalam menyampaikannya, adalah sangat potensial membumikan idealitas tentang pers yang bermartabat, demokratis, mengakomodir mereka yang terpinggirkan dalam wacana media, jauh dari tendensi pemilik modal, edukatif merupakan suatu cita – cita awal yang bagi penulis merupakan mutlak dikedepankan. Di tengah gempuran pengiklan, selibritis, Public Relation perusahaan dan para politisi yang cenderung dinilai public hanya menawarkan sesuatu yang sifatnya komersil, glamour serta pencitraan atas dirinya ketimbang mengajak berbenah disaat semrawutnya kondisi Kita (Indonesia) hari ini. Membayangkan hal itu, tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Eksistensi media pada hari ini sangat ditentukan sejauh mana industri media dapat menarik simpati dan kepercayaan public, dengan melalui teks berita maupun konten yang berkualitas (actual, akurat dan berimbang) tanpa menafikkan hal yang sifatnya komersil seperti iklan, yang telah menjadi urat nadi keberlangsungan industry media. Kepentingan public, kepentingan para pengiklan dan pengaruh pemilik media, seminimal mungkin tidak melepaskan media dari tanggung jawab sosialnya untuk mencerahkan, ataupun menyajikan siaran dan teks berita yang berkualitas sebagai usaha mencerdaskan kehidupan bangsa. Meskipun dalam konteks Indonesia, media massa cenderung mengabaikan hal – hal yang prinsipil tersebut. Menjadi rahasia umum ketika suatu media menayangkan dan memuat berita tertentu atas pengaruh struktural (kelompok berpengaruh) yang terlibat pada proses produksi berita (wacana) dalam media tersebut. Tak ayal, informasi yang sebenarnya krusial untuk diketahui public, alih – alih di geser oleh berbagai tayangan dan pemuatan peristiwa yang tidak bermutu (pencitraan, sensasional). Dalam kasus demikian, media telah menghamba pada pemilik modal dan lupa kepada public – meminjam istilah Rocky Gerung – mengabdi kepada public sebagai tuhan media massa.
![]() |
Iklan poltik menjadi dominan di televisi |
Entah
media partisan atau partisipan: Optimisme mengawal pemerintahan baru
Di Indonesia, peranan pers yang diatur dalam Pasal 6 UU No. 40 Tahun 1999 yang dua diantaranya mengatur perihal peranan pers yakni (1) Melakukan pengawasan, kritik dan saran terhadap hal – hal yang berkaitan dengan kepentingan umum (2) Menegakkan nilai – nilai demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, hak asasi manusia serta menghormati khebinekaan. Eksplisit, aturan main dalam system pers Indonesia, secara imperatife media atau pers mutlak benar – benar hadir untuk melayani kebutuhan informasi khalayak umum dan bukan bergerak memproduksi berita demi kepentingan relasi kuasa dan dirinya sendiri. Menjadi tantangan tersendiri bagi kalangan industry media, ketika owner ataupun kelompok berpengaruh dalam system tersebut ada yang berafiliasi secara politik maupun bisnis dengan pemimpin lembaga penyelenggara pemerintah hari ini.
Dari semua itu, inti dari tulisan ini adalah, apakah media tetap menjunjung tinggi amanah undang – undang serta public ataukah hanya
melayani kepentingan ekonomi – politik yang ada di dalamnya. Selain itu apakah media yang selama ini palig
kritis terhadap rezim sebelumnya, akan tetap kritis menyampaikan kritik
terhadap pemerintah, yang notabene owner atau kepentingan komersil adalah
suksesor dari kelompok penguasa/rezim hari ini. Sangat diharapkan pengaruh
structural tidak membawa dampak berlebih pada konten berita yang terkait
kebijakan pemerintah/rezim sehingga mengabaikan posisi media sebagai pilar ke
empat mewujudkan iklim demokratis di negeri ini.
Jika demikian terjadi, maka gagasan Louise Althusser mengenai media hanya yang dijadikan oleh pemerintah sebagai Ideological State Apparatus (ISA) dalam menyebarkan nilai dan citra sebuah rezim menjadi benar. Ataukah media menjadi instrumen hegemonik yang mengakibatkan public begitu saja menerima dan menganggap normal apa yang diberitakan media.
Jika demikian terjadi, maka gagasan Louise Althusser mengenai media hanya yang dijadikan oleh pemerintah sebagai Ideological State Apparatus (ISA) dalam menyebarkan nilai dan citra sebuah rezim menjadi benar. Ataukah media menjadi instrumen hegemonik yang mengakibatkan public begitu saja menerima dan menganggap normal apa yang diberitakan media.
Banyaknya konglomerat media yang terjun langsung
dalam dunia politik maupun penyelenggara Negara ataupun sederet nama yang
dinilai punya kedekatan dengan kelompok pemenang pemilu april kemarin, sedikit
banyak akan memiliki dampak pada pembangunan citra pada rezim hari ini. Suatu
hal yang aksiomatik bagi public. Namun ketika kebijakan pemerintah baru yang
tidak pro terhadap rakyat, mengibiri proses demokrasi dan penindasan kelompok
yang satu kepada kelompok yang lain mengharuskan kritik konstruktif yang
menjadi focus media sebagai domain perpanjangan tangan public umum. Pengawasan,
kritik dan saran adalah yang dirindukan public ketika media dominan pada
beberapa waktu yang lalu, telah terlarut dalam ketatnya kontetstasi politik
para owner industry media. Dikedepankannya tiga unsur tersebut, paling tidak menjadi
penguat bahwa media A dan Media B, bukan media partisan dan juga bukan media
yang hanya berorientasi profit semata (profite motif). Dari situ juga, maka
akan memberi gambaran bahwa media massa merupakan ruang public yang bebas dari
dominasi dan benar – benar mengkomodir kepentingan umum. Terlebi lagi akan
menjadi lucu dan naïf, jika media hanya mengeraskan suara dan meruncingkan pena
alat tulisnya, pada saat rekan sesama awak media menghadapi kekerasan fisik
oleh seseorang maupun kebebasannya di hadang. Akan menjadi tertawaan public,
ketika ada media yang hendak menjadi “media opisisi” hanya karena ownernya
berada dalam afiliasi politik oposisi di parlemen ataupun pemerintahan baru.
Bukan pada saat Negara tersandra dan dirusaki moralnya oleh kepentingan
segelintir orang, justru media dan pers malah kehilangan nalar kritisnya.
Terlalu naïf,
ketika suatu pihak membahasakan bahwa media kami adalah media (Koran, tv,
online) yang independent. Sementera independensi pers dan khususnya media pada
hari ini, menjadi tidak jelas. Maka berangkat dari kompleksnya system pers dan
hukum atau budaya media, menjadi tugas Kita untuk mengawal dan mengawasi setiap
pemberitaan media baik cetak atau online, sementara pihak media mengawal setiap
program kebijakan pemerintahan baru dan tentu tetap membuka ruang seluas –
luasnya kepada public untuk menyampaikan gagasan – gagasan konstruktif.
Simbiosis demikian, semoga memberi pencerahan kepada public dan membawa angin
segar bagi kemajuan negeri kita ! Optimisme pengawalan itu ada..