Kurang lebih dua puluh
Sembilan hari berlalu, hari – hari itu kita lewati dengan akrivitas peribadatan
yang kita sebur berpuasa. Puasa adalah segala usaha maksimal untuk meredam
akivitas panca indera dari hal yang tidak dikehendaki oleh
nalar agama. ketika seseorang berpuasa, diyakini, akan mengalami
peningkatan spiritual apabila dijalani dengan kesungguhan, kesabaran dan
keikhlasan demi bermetamorfosis menjadi hamba yang taqwa. Penundukan hawa nafsu
yang sifatnya kebinatangan (rendah), adalah unsur substansial dari ibadah
puasa. Akan tetapi, usaha – usaha tersebut mengalami tantangan jika di
perhadapkan pada aktivitas keseharian yang memaksa diri kita mengerahkan tenaga
yang lebih, lalu kemudian menyerap energy dan mungkin berakhir pada berbuka
sebelum waktunya. Pembatalan puasa tersebut banyak kita saksikan dari
lingkungan kita, yang mirisnya dilakukan oleh mereka yang tidak melakukan
pekerjaan yang berat (tidur, ongkang – ongkang kaki dsb). Dalam perspektif nalar agama (islam), pembatalan
ibadah puasa hanya ditolerir bagi mereka yang menempuh perjalanan yang jauh dan
wanita yang sedang mengalami datang bulan atau menstruasi. Namun, orang – orang
yang menempuh perjalanan waktu lantas membatalkan ibadah puasanya, dalam konteks
turunnya ayat suci al-qur’an yang berkaitan dengan hal tersebut, hanya cocok
bagi umat muslim di zaman Muhammad Saw, karena pada saat itu para musaffir menempuh perjalanan yang jauh hanya dengan
berjalan kaki ataupun menggunakan onta dibawah sinar matahari tanah arab yang
dikenal dengan suhu yang panas dan mengganti puasanya pada hari setelah bulan
suci ramadhan. Bagi penulis, tentu berbeda dan tidak tepat jika pembatalan
puasa tersebut dilakukan oleh ummat muslim modern hari ini, yang menempuh perjalanan
dengan menggunakan mobil yang penuh fasilitas pendingin udara yang menyejukan.
Perlu pemaham kontekstual terhadap ayat yang berkenaan dengan hal tersebut (Qs
Al – Baqarah:184).
Lain lagi dalam ruang
yang berbeda, ada ummat muslim yang menikam bulan suci ramadhan dengan
melakukan hubungan intim suami – istri diluar ikatan pernikahan, lantas ia
lakukan pada waktu siang hari, dimana ummat yang lain justru melaksanakan
ibadah puasa. Potret demikian merupakan situasi, dimana suatu yang suci bercampur aduk dengan sebuah kondisi
yang kotor pada waktu bersamaan. Kejadian itu dapat kita simak melalui siaran
berita baik di Tv, cetak ataupun media online dimana aparat Negara melakukan
penggerebekan di ruang – ruang mesum dan mendapatkan orang – orang yang sedang
bersetubuh yang notabene yang digerebek adalah orang yang beridentitas islam
secara kartu tanda penduduk. Ironi ! berangkat dari permasalahan tersebut, kita
kemudian mempertanyakan bagaimana peran – peran lembaga maupun organisasi
keagamaan kita dalam menjalani tugasnya sebagai entitas yang dapat mencerahkan
ummat ? apa yang mereka komunikasikan dalam setiap ceramah keagamaannya
sehingga pencederahan bulan suci itu terjadi ? ataukah ummat hari ini sedang
mengalami keruntuhan moral yang akut ? mari kita jawab dengan pandangan kita
yang didasari prinsip objektivitas.
Mencederai dan menikam
bulan suci bukan saja kejadian – kejadian seperti apa yang tertuliskan diatas.
Konsumeristik dan pengkhianatan dalam berdagang adalah juga merupakan aktivitas
yang secara tersirat mencederai dan menikam bulan suci yang seharusnya dilalui
dengan cara yang tidak boros atau kesabaran menahan godaan ekstrinsik (makanan,
minuman dan pakaian) dan keadilan dalam jual – beli. Banyak kita saksikan ummat
muslim di akhir bulan suci yang berbondong – bonding menuju arena perputaran
kapital (restoran, warkop, mall, pasar konvensional, hypermart) hanya untuk
memuaskan libido konsumtif dan tentunya menggolontorkan uang dalam jumlah yang
cukup besar agar dapat membeli pakaian, minuman serta perabotan rumah tangga
untuk digunakan pada saat hari raya lebaran. Semangat bulan suci yang
didalamnya mengandung pesan penundukkan nafsu yang rendah dan melatih kesabaran
diri, ternyata di lupakan ataupun tidak disadari adanya. Fenomena tersebut
meminjam bahasa Moh. Aam Darmawan adalah “menuju hari raya ummat konsumtif”
dimana ummat mengakhiri dua puluh Sembilan hari dengan aktivitas konsumsi yang
lebih serta mengaburi makna substansial ibadah bulan suci ramadhan yakni,
kesabaran dalam mengolah diri. Mencederai dan menikam bulan suci merupakan
fenomena post-spiritual dimana yang imanen bercampur aduk dengan yang
transenden, yang esensial bercampur dengan yang permukaan dan yang rendah
bercampur aduk dengan yang tingggi yakni al-nafs at-muttmainnah.
Selamat hari raya
lebaran. Matikan nalar konsumsi mu . . .
*Di tulis, shubu itu 28 Juli 2014