Pada 22 juli 2014 pesta
telah usai, euphoria politik warga telah berakhir dan pemimpin baru telah lahir
dari suara rakyat, yang katanya suara Tuhan. Baliho, spanduk, banner dan
pamvlet kontestan kini hilang dari sorot mata kita di ruas jalan kota yang
kemarin mengusik karena kesembrautan. Perang informasi di media massa perlahan
mulai terminimalisir dengan beraneka fitnah, black campaign dan lebih ngeri
adalah isu Sara pada tayangannya. Tweet war yang kerap menghiasi lini massa
social media twitter, akhir – akhir ini kembali sepi antara pendukung nomor
satu dengan pendukung nomor dua. Dan tak lupa, kita tak lagi mendengar salam
dua jari ataupun garuda merah serta berbagai macam bahasa jargon dari para
maniak probowo dan jokowi ! selanjutnya apa ? Selanjutnya adalah para tuan mungkin
saat ini hanya focus pada acara pelantikan dan susunan cabinet yang akan
mengisi struktur mentri di rezim 2015 – 2020.
Para tuan dan tentu para nyonya dalam koalisi potensial untuk “kalasi”,
sedang merayakan kemenangan di bulan penuh kemenangan. Para tuan yang ikut
“berjasa” memenangkan presiden terpilih kini menanti feed back atas keringat
kemenangan yang telah ia raih. Para tuan dan nyonya (politisi, akademisi,
militer, pengusaha dan broker) akan menjalani suatu fase hidup yang baru
dibawah payung rezim yang baru.
Sederet kalimat diatas
hanya deskripsi singkat pasca pilpres yang mungkin dialami oleh sebagian rakyat
Indonesia. Pesta demokrasi 14 juli kemarin adalah suatu momentum catatan
sejarah berpolitikan nasional di negeri kita. Hari yang menentukan peta
perjalanan kehidupan manusia Indonesia. Apakah akan mengarah pada humanitas
atau animalitas (Kompas, Yasraf Amir Piliang:2014). Presiden terpilih adalah
nakhoda baru yang siap memipin kita dalam mengarungi samudra kehidupan di bumi Indonesia, bersama awak kapal
pelayaran menuju Indonesia hebat. Sebagai penumpang dari pelayaran tersebut,
tugas kita adalah menegur bahkan mengkritik ketika nakhoda mengambil jalur yang
salah dalam tugasnya. Jalur tersebut adalah UUD 1945 dan Konstitusi yang
menjadi pijakan kita dalam bernegara. Pasang surut ombak dan hantaman badai
(korupsi dan krisis ekonomi, politik, social dan kemanusiaan) yang menerpa
bangsa ini dikemudian hari, adalah tugas dan tanggung jawaab utama dari nakhoda
yang telah kalian pilih. Dan tak lupa menambal setiap permasalahan yang
ditinggal oleh nakhoda sebelumnya. Bukan sikap
yang terlarut dalam apatisme – opurtunistik lalu kemudian menunggu kapal
yang kita tunggangi tenggelam.
Kesejahteraan,
peningkatan harkat hidup, mengembalikan stabilitas dan terpenuhinya hak kita
(pendidikan, kesehatan dan persamaan hokum) jelas merupakan pekerjaan Istana
yang terlebih dahulu harus diberi solusi yang kongkret oleh presiden terpilih.
Bukan menambah penderitaan apalagi mencabut hak subsidi rakyat. Belum lagi soal
kebebasan beragama dan berkeyakinan, yang beberapa tahun terakhir di represi
secara brutal oleh orang – orang yang menganggap dirinya bertuhan esa.
Pencurian uang (korupsi) yang dilakukan oleh apparatus structural Negara,
merupakan penzaliman terhadap seluruh rakyat apalagi rakyat yang masih tertatih
karena kemiskinan dan kemelaratan. Pengejawantahan gagasan revolusi mental
untuk Indonesia dari presiden terpilih, terlebih dahulu harus menyelesaikan
liberalisasi dan komersialisasi pendidikan yang telah menggurita sampai di
pelosok negeri . Selain itu, yang tak kalah hebohnya adalah gagasan
nasionalasasi aset Negara yang sedang terprivat oleh asing, harus segera
diwujudkan atau merevisi aturan dalam investasi yang lebih menguntungkan negara
kita selaku pemilik sarana produksi. Diferensiasi ekonomi dan pembangunan
(Otoda) mutlak harus dilakukan agar dapat mematikan sumbuh konflik horizon,
yang kerap berasa dari sentralisasi ekonomi di suatu wilayah atau ditangan
orang – orang tertentu. Menjalin relasi internasional dengan berbagai Negara,
harus mengedepankan keuntungan dalam negeri. Bukan impor beras ataupun impor
garam, misalnya. Jika hal – hal tersebut tercapai dan menuntaskan masalah yang
tersisa, saya kira tidak akan terjadi riak rakyat yang menuntut hak hidupnya
disisi lain dan disatu sisi menjalin solidaritas untuk revolusi !
22 juli 2014 dan
selanjutnya, secerca harapan menggelantung disetiap para pemiliih akan kebaikan
hidup bersama jokowi dodo – jusuf kalla. Presiden pilihan rakyat tersebut
dianggap, sebagai pemimpin yang benar – benar lahir dari Rahim rakyat karena
jenjang atau proses yang dilalui tidaklah mudah. Sementara Prabowo Subianto –
Hatta Radjasa peserta yang kalah dalam pilpres, secara empiric – historis, merupakan symbol dari kejahatan kemanusiaan
dan nepotisme kekeluargaan. Anggapan kepada kedua kontestan tersebut mungkin
ada benarnya. Menarik untuk kita renungkan. Yang jelas mereka patut di
apresiasi atas kebereaniannya untuk memimpin bangsa ini. Terlepas dari intrik
atupun keserakahan yang menyertai keikutsertaannya.
*24 Juli 2014, di tulis
sesaat teriakan sahur – sahur anak muda lewat di depan rumah*