Golongan Putih
atau disingkat GOLPUT adalah suatu bentuk sikap politik manakala seseorang atau
berkelompok yang mempunyai hak suara dalam sebuah proses pemilihan pergantian
kekuasaan tapi memilih untuk tidak menggunakan hak suaranya untuk memilih pasangan
calon pemimpin dari proses pergantian kekuasaan politik (organisasi dst). Salah
satu indikator sukses atau tidak suatu pemilihan jabatan politik
(pemilu,pilkada,pilpres) adalah tingkat partisipasi rakyat atau anggota
organisasi dalam menggunakan hak suaranya dan jelaslah bahwa golput merupakan
satu diantara meningkat atau menurunnya partisipasi pemilih. Golput merupakan
suatu kata atau bahasa yang tidak “bebas nilai” dalam artian memiliki
kepentingan dan maksud tertenu. Golput
dalam setiap perhelatan atau moment politis kekuasaan, dimungkinkan timbul
ketika Anda ataupun mereka yang terjun dalam perebutan kekuasaan lantas tidak
memiliki intergritas, daya intelektual dan track record positif. Selain itu,
misalnya, moment politik tersebut tidak menawarkan konstelasi yang bernilai dan
tidak edukatif (black campaign) dan visi – misi para peserta yang memperbutkan
kekuasaan hanyalah sebuah gagasan utopis bahkan sekedar “celoteh belaka”.
Golput dihujat,
dituduh merusak demokratisasi dan bahkan dituduh haram oleh Fatwa pihak lembaga
keagamaan dengan pendasaran pada teks suci Agama. Seruan golput bahkan dicela
sedemikian mungkin karena dapat mengakibatkan Hak suara atau kertas suara dari
pemilik hak suara yang sah tersebut, digunakan secara ilegitimate oleh oknum
tertentu demi akumulasi suara yang di “permainkan” pada saat tahap pemungutan
suara di tingkat desa, kecamatan dan kota. Machiavelisme merasuk sistem
pelaksanaan politik. Jika demikian masalahnya sehingga mengapa Golput itu
dicelah karena akan berpontensi menimbulkan permainan politik picik seperti itu
(penggelembungan suara). Pertanyaannya, apakah kita harus menyalahkan mereka
yang tidak menggunakan hak pilihnya (GOLPUT) jika penggelembungan suara dengan
cara menggunakan hak suara pemilih yang
tidak hadir memilih secara “palsu” ? dengan dalih, orang tidak akan mencuri
ketika ia tidak melihat sesuatu yang dengan mudah dapa dicuri. Ataukah pihak
penyelenggara atau oknum tertentu yang kita harus salahkan karena telah
mencederai proses tersbut ? Varian jawaban akan bermunculan tergantung dari
sudut pandang apa kita melihat permasalahan pengelembungan surat suara
tersebut.
Hak, Rasionalitas dan Mosi tidak percaya
Hak asasi
manusia (HAM) adalah roh dari demokrasi selain kebebasan, kesamarataan
(egaliter) dan keadlian. Jika tidak demikian maka tidak dapat dikatakan sebagai
demokrasi yang substantif. Dalam konteks negara Indonesia, sebagai salah satu
negara yang menjadi konsumen demokrasi, kerap kali menampilkan wajah demokrasi
yang bersifat ambiguitas bahkan kontradiktif; disisi lain ada pemaksaan
(contohnya untuk tidak golput) dan pada lain hal membebaskan para warganya
untuk berdemonstari dijalan sebagai bentuk pengawalan politik dalam arti yang
luas. Pemaksaan merupakan salah satu bentuk kolonialisasi dan kebebasan pada
gilirannya akan menciptakan anarki dan banalitas dalam informasi jika tidak
diperkuat dengan regulasi yang menopang sistem demokrasi. Maka dari itu, sikap
seseorang atau kelompok untuk Golput merupakan suatu bentuk Hak asasi dalam
arti sempit yang wajib kita hormati sebagai keberagaman politik dan kebebasan
individu dalam menentukan sikap politiknya yang niscaya ada dalam proses
pergolakan demokrasi politk. Kemudian, seseorang/kelompok yang berani
menentukan sikap golput, tidak serta merta tanpa didasari pertimbangan yang
rasional – krtitis terhadap subjek – subjek politik (partai dan calon pejabat
politik) sehingga mengapa pilihan golputlah yang sangat tepat. Bukan atas
kepasrahan dan menyerah pada kenyataan yang ada. Selain itu, memilih untuk
Golput merupakan bentuk dari mosi tidak percaya atas parpol dan figur pejabat
politik karena melihat jejak dan pengalaman kedua entitas politik tersebut yang
dinilai cacat bahkan kotor untuk dijadikan pemimpin.
![]() |
heuheuheuu |
Karena Golputpun adalah pilihan untuk
tidak memilih (Pilpres dan calon presiden citra)
Menjelang
beberapa minggu yang akan datang, tepat pada tanggal 9 juli 2014, Bumi
Indonesia kembali memlih calon presiden dan wakil presiden untuk masa bakti
2015 – 2020. Rakyat indonesia kembali mengotori jari – jemarinya dengan tinta
pemilih sebagai tanda bahwa individu telah menggunakan hak suaranya. Pilpres
kali ini menampilkan dua pasangan calon yakni Prabowo Subianto – Hatta Radjasa
& Jokowi Dodo – Jusuf Kalla sebagai calon presiden dan wakil presiden
Indonesia. Hanya merekalah yang mungkin sosok pemimpin yang dinilai layak bagi
para pendukung masing – masing calon presiden. Mungkin hanya merekalah yang
punya modal dan memiliki kendaraan partai politik sehingga turut menampakkan
parasnya diajang perebutan kekuasaan nantinya. Dan apakah memang benar, mereka
yang berani mencalonkan diri sebagai calon presiden, benar – benar mencalonkan
diri karena niat yang tulus dari hati terdalam untuk mengabdikan diri pada
rakyat ??? untuk jawaban, marilah kita renungkan masing – masing.
Secara pribadi bagi
penulis, sesungguhnya kedua pasangan calon tersebut merupakan calon yang
sebenarnya sangat tidak layak untuk dicalonkan. Apakah kita tidak melihat,
bahwa disana, mereka yang menjadi calon presiden hanya bermodalkan Citra belaka
dan partai politik yang memperoleh angka pemilih pada pemilu legislatif kemarin
? Apakah kita tidak menyadari bahwa kita mudah termakan oleh pelbagai isu
politik, hanyut dalam simulasi politik media massa dan terperangkap dalam janji
– janji politik ? Apakah kita tidak melihat bahwa disana terjadi simbiosis
mutualisme yang sempurna antara para jenderal militer, politisi, owner media
massa dan para pengusaha yang nyatanya mendukung hanya bermodus profite semata?
Lantas apakah kita lupa dengan inkonsistennya ucapan dari salah satu calon
wakil presiden yang sebelumnya juga mengkritik pasangannya yang bermodalkan
pencitraan ? Apakah kita tidak mengetahui bahwa ada pengkhianat rakyat dari
mereka yang menjadi calon presiden ? Apakah kita lupa dengan tindakan tidak manusiawi pada masa
lalu diantara dari calon presiden tersebut ? Bukankah Tuhan Mu telah befirman,
dalam surah cinta-Nya bahwa “Dan Janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak
mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan
hati, semuanya itu akan dimintai pertanggung jawaban” (Qs Al-Isra: 36)
Inilah Golput
dan skeptisisme politik paling radikal akibat semu dan suramnya wajah politik
kita. Tak ada konsensus yang benar – benar lahir dari diskursus ruang publik
yang rasional – argumentatif serta tanpa intervensi dan kepentingan politik.
Netratlitas aparatus negara (Pegawai Negeri Sipil, TNI, POLRI dan pejabat
negara) hanyalah isapan jempol belaka ketika mereka ramai – ramai turut menjadi
agen yang memaksa bahkan mengintimidasi massa. Ilmuwan dan para akademisi, juga
turut menjadi pengikut calon presiden demi kepentingan promosi jabatan padahal
sebelumnya mengkritik habis calon presiden yang mereka dukung sekarang bahkan
menjadi juru bicaranya pada pilpres kali ini. Dan tak kalah ironisnya,
mahasiswa yang notabenenya adalah agen control sosial, malah turut terjerumus
dalam kumbangan politik pragmatis hanya untuk kepentingan jangka pendek, tanpa
idealisme yang setiap hari kata – kata tersebut membasahi bibir mereka !
Semakin melihat
dan mendegar pembeitaan media massa mengenai calon presiden, maka semakin
skeptislah. Karena itu tak lebih dari agitasi, propaganda dan kemudian
mematikan nalar kritis mu !!