Letak Kecenderungan Media Massa Kontemporer; Sebuah tugas kuliah


Di suatu Negara atau wilayah territory tertentu, system komunikasi massa yang berlangsung tentu sangat dipengaruhi oleh factor nilai, ideology, norma dan lain seterusnya dalam konten atau pesan yang diberitakan atau yang di komunikasikan. Dalam teori pers; otoritarian, libertarian, sosialisme dan tanggun gjawab social, masing – masing Negara yang menganut satu atau bahkan lebih dari satu teori pers. Di Indonesia khususnya pada masa pemerintahan Soeharto, pemberitaan media massa dikendalikan penuh oleh pemerintah melalui Aparatus Ideologisnya (Kementrian Penerangan) yang secara otoritatif, memiliki kekuasaan dalam mengatur regulasi pers dan kemudian berdampak pada konten atau isi pesan yang disampaikan media massa pada saat itu.  Kasus pembredelan Koran Tempo menjadi kenangan secara khusus di kalangan pers, dimana pada saat itu Izin Penerbitan Koran Tempo dicabut oleh Kementrian Penerangan karena telah memberitakan pembelian kapal perang oleh kementrian yang dipimpinoleh B.J Habibie yang membuat geram Presiden Soeharto[1].
Namun saat ini, bangsa Indonesia menetapkan untuk menganut sistem komunikasi yang dapat disebut sistem Liberatif – Tanggung Jawab Sosial. Disebut liberatif karena media saat ini khususnya pers, telah bebas dalam meliputi dan menyampaikan berita. Selain itu disebut tanggung jawab sosial karena media dan pers pada hari ini memberitakan suatu peristiwa dengan didasari oleh tanggung jawab akan validitas pesan yang diberitakan. Pilihan itu disadari sangat perlu, demi berlangsungnya kebebasan pers dan rakyat atau public dapat menyadur informasi yang lebih disbanding pada zaman orde baru. Kebebasan pers dan kemudahan dalam mendirikan perusahaan media, merupakan konsekuensi logis dari keputusan untuk menganut sistem pemerintahan yang demokrasi. Akan tetapi, sampai hari ini, kebebasan pers dan kemudan dalam mendirikan perusahaan media ternyata, menghasilkan dampak atau efek ekonomi, sosial dan politik bagi masyarakat, insan pers dan pemilik media. Para ahlipun berspekulasi akan kondisi ini. Alam kebebasan komunikasi (pers) disatu sisi menciptakan banalitas informasi dan di lain sisi menciptakan “simulacrum of reality” seperti yang dibahasakan oleh Jean Baudrilard dalam Yasraf AP.[2]

Kartun penonton yang sedang menyaksikan suatu banalitas tayangan televisi
Maka selain itu, kebebasan pers dan kepemilikan media yang tidak dibatasi oleh pemerintah, berpotensi menimbulkan konglomerasi dan pengebirian hak – hak public. Sehingga mengundang pertanyaan yang sangat prinsipil; apakah media pada hari imo lebih mengarah pada ranah bisnis ataukah ke arah sosial yang lebih mengutamakan kepentingan public ? pertanyaan demikian mendorong kita untuk kembali “membedah” wajah media yang acap kali tampil secara ambiguitas.

Kecenderungan Ke Arah apa ?
Sebenarnya, menilai media pada hari ini apakah cenderung ke bisnis atau sosial, diakui sangatlah tidak mudah memberi jawaban yang benar – benar tepat dan berkualitas atas sebuah penilaian. Mengingat bahwa suatu media tidak dapat bertahan lama, jika media tersebut terbatas atau sama sekali tidak memiliki kekuatan modal yang cukup untuk bersaing dengan perusahaan media lainnya. Yang dimana dalam mendapatkan modal, tidak cukup hanya mengharap dari Oplah Koran, misalnya media cetak. Melainkan dengan cara untuk bagaimana kemudian dapat menarik para politisi, perusahaan dan seterusnya untuk mengiklan di media tersebut. Dan dari hasil iklan itu, dapat menghasilkan modal yang mencukupi sebagai basis financial atau jika tidak berlebihan sebagai urat nadi perusahaan media cetak, elektronik dan online.
Akan tetapi, hal itu bukanlah indicator yang tepat untuk menilai bahwa suatu media tertentu lebih berorientasi atau cenderung ke ranah bisnis. Dasar itu hanyalah sebagai “hukum” untuk tetap survive di ruang persaingan media. Selain itu, media massa masih tetap menunjukkan bahwa, insan pers sebagai asset produksi perusahaan media, tak dapat disangkal telah mempunyai andil dalam membongkar kasus hukum dan mengawal proses demokratisasi politik dalam konteks Indonesia. Meski hal terakhir ini sangat berfluktuasi, tergantung pada moment dan keberpihakan owner media terhadapa komunitas atau partai politik tertentu.
Menurut saya, kecenderungan ke arah mana media massa kontemporer, perlu dispesifikkan pada bentuk dari suatu media; media cetak, elektronik dan online. Karena dari pengklasifikasikan itu, menurut saya, dapat memberi gambaran utuh perihal arah dan orientasi media cetak, elektronik dan oline apakah ke ranah bisnis ataukah ke ranah sosial ?

Media elektronik, sebuah kecenderungan bisnis dan hedonistis !  
Dalam bukunya berjudul Pesan, tanda dan makna, Marcel Danesi menilai bahwa TV sebagai suatu teks sosial yang didalamnya menyampaikan pesan sosial atau budaya yang telah menggeser teks religius sebuah agama[3]. Dari pernyataan Danesi, tersirat bahwa media elektronik dan TV sebagai saluran utamanya, begitu dalam telah mempengaruhi aktivitas sosial – kebudayaan sebuah masyarakat dengan nilai – nilai tertentu akibat dari tayangan pertelevisian yang cenderung menampilkan tayangan berbau hedonistis, iklan yang berjumlah banyak dan tayangan yang tidak sesuai dengan selera masyarakat atau khalayak. TV menampilkan sebuah tayangan yang berulang – ulang hanya berdasar pada ratting penoton suatu tayangan tertentu. Maka semakin tinggi sebuah ratting tayangan, maka akan semakin “rajin” perusahaan media menayangkan acara, hiburan dan berita tertentu. Walaupun apa yang ditayangkan itu tidak sesuai dengan apa yang diinginkan public.

Sebagai satu contoh dalam konteks tayangan TV di Indonesia, Kasus  perseteruan antara Julia Perez dan Dewi Persik  begitu menjadi langganan di hampir seluruh siaran stasiun TV di Indonesia. Yang bagi saya, penanyangan tersebut sama sekali tidak menampilkan hal – hal yang bersifat edukasi untuk mencerdaskan public. Mala hanya menampilkan sikap hidup yang hedonistis dan materialis dari kedua selebriti tersebut. Selain itu, porsi iklan dan ekspansi stasiun Televisi (Global Tv dan Rcti) menggambarkan kecenderungan ekonomi (bisnis) pada jika disadari, dari segi konten dan porsi tayangannya sama sekali tidak berbeda dari kedua stasiun Televisi swasta tersebut. Hal itu menunjukkan dengan memperbanyak stasiun TV,  maka capital pemilik media atau pemegang saham dapat produktif dan akhirnya menjauhi dari krisis financial suatu perusahaan media..


[1] Jurnalisme Sastrawi – Pantau, 2008 hal. 103
[2] Yasraf Amir Piliang, Post-Realitas: Kebudayaan dalam era post-metafisika, Jalasutra, 2004 hal 70
[3] . Marcel Danesi, Pesan, tanda dan makna, jalasutra, 2010