Sebagian
manusia, tak terkecuali saya, tentu merasa amat sulit untuk menulis.
Entah itu mahasiswa, mahasalah dan masyarakat awam sekalipun. Turut
“terjangkit” ketidaktahuan atau ketidakmauan untuk menulis. Menulis yang saya
maksud adalah,menulis dengan deretan kalimat dalam bentuk narasi, opini, essai.
Baik itu secara induktif (khusus ke umum) atau deduktif (umum ke khusus). Tak
jarang, saya dan anda diliput rasa bingung apa yang akan kita tulis ketika
disuruh untuk menulis. Sehingga membatalkan kita tidak jadi untuk menulis.
Selain itu, menurut saya, yang menghambat kita menulis ialah tidak adanya
kemauan mengidentifikasi potensi diri kita, anugrah akal dan jari ini tidak
dimaksimalkan untuk menyusun kata menjadi kalimat, yang kita sebut itu sebagai
tulisan. Waktu luang tidak membuka ruang kesadaran serta kemauan kita untuk menulis
dan mencatatkan sejarah.
“Pengetahuan manusia boleh mencapai tingkat
intelektual yang sangat tinggi, namun jika tidak menulis, maka kau hilang
bersama sejarah” lebih – kurang dan benarnya kutipan Pramoedya Ananta Toer
seorang sasrtawan termahsyur di Indonesia, gagasan dan pandangan menjadi
popular di kalangan mahasiswa dan para intelek. Kutipan itu menegaskan bahwa,
meskipun anda cerdas, kritis dan berwawasan luas tapi jika anda tidak menulis
maka sejarah akan menghapuskan mu dalam masyarakat. Selain itu saya memaknai
perkataan pram sebagai upaya menyeimbangkan kemampuan oral (berbicara,
beragumen) dengan kemampuan menulis agar pengetahuan – pengethaun kita tentang
realitas dapat kita deskripsikan dalam tulisan, guna untuk menyumbangkan
pengetahuan kita kepada masyarkat agar tidak terlupakan bersama sejarah. Di
Indonesia ada sekian banyak professor, doctor, maupun sarjana yang mampu dalam
berargumen (lisan) akan tetapi minus pada wilayah tulisan. Sehingga menyebabkan
minimnya karya – karya yang dapat
dilahirkan dari coretan – coretan kaum terdidik itu. Kondisi demikian tak ayal
menghambat dan mempersempit ruang kompetensi di lapangan pekerjaan. Mengingat
di era globalisasi sekarang ini, dengan arus utamanya adalah informasi dan
teknologi, kebutuhan akan skill menulis dapat menempatkan seorang manusia bisa
bersaing serta memperoleh posisi yang baik di tengah percaturan zaman. Lebih
dari itu, kita tak akan hilang dan tenggelam bersam sejarah seperti yang
dikatakan pram.
Padahal menurut senior saya, menulis merupakan
perintah agama ___ Khususnya agama islam___ Kita tahu bahwa sebelum surah dan
ayat – ayat al – qur’an dimushafkan oleh khalifah Umar Bin Qhattaf, aya al –
qur’an itu terlebih dulu ditulis diatas bebatuan, tulang hewan, dan dedauanan
setelah Nabi Muhammad saw mendiktekan ayat al – quran kepada para sahabat. Dari
situ, dapat kita petik suatu pelajaran bahwa awal mulanya agama islam hadir
melalui tulisan. Bahkan seorang sejarahwan islam mengatakan peradaban islam
merupakan peradaban teks (al – qur’an dan hadits). Maka dari itu, setiap
penganut agama islam seyogyanya mampu untuk menulis sebagai realisasi atas
islam rahmatan lilalamin. Pemahaman yang dangkal atas agama islam ini, menurut
penulis, bisa menjadi motivasi bagi para pemeluk agama islam untuk tetap
berkontribusi terhadap kemajuan zaman dengan cara menulis. Belum lagi
perkembangan zaman saat ini menyediakan kita sarana seperti laptop yang dengan
mudah dapat membantu dalam mengaktualkan kemampuan menulis kita. Baik itu
melalui blog, maupun di jejaring social seperti facebook. Yang menyediakan
konten catatan bagi setiap pemilik akun facebook. Nah, dari kemudahan itu,
agaknya amat keterlaluan jika diantara kita masih saja tidak bergerak untuk
menulis apapun yang ingin kita tulis.
Kendati demikian ada hal yang penting untuk
diperhatikan agar kita tidak buntu saat menulis. Ibaratkan seorang petani di
sawah, yang alat utamanya untuk menggarap sawah adalah cangkul, maka seorang
yang ingin menulis sebaiknya memperbanyak membaca agar lebih memperbanyak
pembendaharaan kata serta ide – ide yang akan dituangkan dalam tulisan nantinya.
Hal ini sangat terbukti, ada beberapa tokoh penulis yang pendidikan tidak
sampai pada jenjang doctoral ataupun magister, tapi mampu melahirkan karya
dalam bentuk sastra dan novel. Sebut saja seorang seniman dan sastrawan ulung
Indonesia, Goenawan Moehammad, beliau merupakan seorang intelek, penulis dan
mantan jurnalis profesional karena referensi bacaannya yang cukup banyak hingga
mampu melahirkan karya – karya yang popular sampai saat ini; Tuhan dan hal –
hal yang belum selesai, sastra seks dan kita, serta masih banyak lagi karya
tulis beliau yang dimuat dalam jurnal – jurnal internasional. Ini menunjukkan
bahwa pendidikan seseorang ternyata tidak menentukan tingkat kemampuannya dalam
tulis – menulis seperti yang saya tuliskan diatas. tentu masih banyak penulis
yang handal dan populer yang bukan lahir dari dunia akademik, tapi besar secara
otodidak dan ketekunan tinggi.
Maka menulislah, sekalipun anda bukan sang ulung !!
dan menulislah, agar microsoft word di computer tidak tersedian secara sia –
sia ;)