Setiap hari bahkan setiap detik dibelahan bumi yang lain, hadir dan terbit pengangguran. Bak matahari yang setiap hari mewarnai dunia. Pengangguran merupakan wajah lain dan entitas lain dari realitas sosial manusia. Meskipun tak ada defenisi yang tepat perihal pengangguran, akan tetapi secara umum, pengangguran adalah seseorang yang tidak menjalani atau mempunyai pekerjaan yang dapat menghasilkan financial. Meskipun kerja pada dasarnya adalah pengarahan otot dan akal baik secara maksimum atau maksimal, tanpa harus menghasilkan sesuatu yang bersifat finansial (uang). Namun terlanjur, pemahaman bangsa manusia terhadap pengangguran ialah mereka yang tidak menghasilkan uang meski seseorang itu menghasilkan uang dari kerja yang tidak benar secara norma sosial, namun tetap saja dianggap ia bekerja. Begitulah..

Penggangguran sering kali hadir, salah satu penyebab mendasarnya adalah karena seseorang tidak memiliki kecakapan dan keterampilan diri maupun kecakapan intelektual. Adapun juga, penyebab orang menganggur adalah karena seseorang tersebut tidak memiliki legitimasi formal untuk ditempatkan pada perusahaan atau lembaga negara (yang terkadang mirip dengan perusahaan) seperti tidak memiliki selembar ijazah, baik dari tingkat yang paling rendah (SMP) sampai ijazah perguruan tinggi. Hal terakhir ini, paling banyak kita temukan disekitar lingkungan sosial kita tatkala selembar ijazah memaksa seseorang hanya tidur, bangun, makan dan ngopi sebagai aktivitasnya. Tanpa olah pikir dan rasa untuk meraih selembar rupiah. Di ruang – waktu yang lain, pengangguran hadir disebabkan keserakahan sosial segelintir orang berupa korupsi, kolusi dan tindakan nepotis sehingga memaksa si pengangguran tetap saja menjadi pengganggur karena “Tidak ada dekkeng, tidak ada uang”. hal itu banyak terjadi pada rekreutmen tenaga kerja di lembaga negara yang salah satu wujudnya pada proses penerimaan calon pegawai negeri sipil (CPNS), Polri dan TNI yang menjadi lahan subur tumbuhnya benih nepotisme bahkan menjadi “rules” yang terinternalisir dalam diri segelintir umat manusia. Budaya tersebut telah lama menjadi sejarah buruk dari sistem rekruitmen tenaga kerja kita, yang klimaksnya terjadi di zaman orde baru ketika soeharto melanggengkan sanak kelurga dan kerabatnya dalam struktur pemerintahan dan swasta. Belum lagi soal minimnya lapangan kerja yang tersedia bagi rakyat, mengharuskan hadirnya budaya kompetensi para pencari kerja dimana yang kaya meraih pekerjaan dan yang miskin tetap saja pada posisi tanpa kerja.
Anekdot diatas sekedar gambaran bahwa ada beberapa dari sekian banyak faktor penyebab mengapa seseorang terjerumus dalam lingkaran pengangguran. Lingkaran sosial dimana yang lain menganggap Kita atau Mereka tak bernilai secara sosial. Hanya saja, baik dari mereka yang terampil dan cerdas secara intelektual, tetap saja berada pada posisi “nista” tersebut dalam jangka waktu yang relatif lama dikarenakan diskrimanasi bahkan diduga sebagai rekayasa yang sistematis, terstruktur dan massif (mirip pelanggaran pilkada dan pemilu yang pilu). Dibawah ini sederet jenis dan model pengangguran yang turut serta meramaikan berlimpahnya pasar tenaga kerja.

·         Pengangguran tanpa lahan dan alat produksi: ciri – ciri dari pengangguran tersebut, terdapat banyak pada masyarakat yang cara hidupnya tradisional, seperti di desa – desa dengan sumber mata pencaharian bersumber dari alam. Mereka menjadi penganggur karena lahan pertanian, perkebunan serta air laut yang digunakan sebagai sarana produksi, menjadi lepas terjual karena dijadikan kawasan industri pariwisata dan lain sebagainya.
·         Pengangguran terdidik: mereka ini termasuk dalam kelompok sosial yang terbilang elite lantaran mereka menjadi pengangguran disebabkan tidak tersedia dan terbukanya lapangan kerja, sehingga memaksa untuk menjadi penganggur kendati memiliki pengetahuan dan selembar ijazah yang cukup membantu untuk mempunyai kerja.
·         Pengangguran idealis: di tengah atau dilingkungan masyarakat, terdapat beberapa orang yang rela tidak menghasilkan pendapatan berupa uang  dan sejenisnya karena mereka lebih memilih untuk tetap begitu sebagai suatu bentuk prinsip atas idealisme yang dipegang teguh. Mereka beranggapan bahwa lingkungan dan sistem kerja berdiri jauh dari prinsip kemanusiaan yang berwujud dalam bentuk eksploitatif terhadap para pekerja. Ia berposisi sebagai presure group atas sistem yang tidak manusiawi serta tetap konsekuen di posisinya sebagai penganggur yang tanpa hasil dan upah meski kecakapan dan intelektual mereka miliki.
·         Pengangguran hedonis: jenis pengangguran ini kebanyakan kita temukan di daerah perkotaan dengan berbagai sarana tempat untuk memanjakan hasrat konsumtif. Mereka biasanya tidak memiliki kompentensi, kecakapan kognisi dan keterampilan walaupun secara formal mereka adalah para alumni di berbagai perguruan tinggi. Selain itu, mereka acuh dan tidak memiliki prospek serta prioritas hidup jangka panjang dan hanya mengharap “upah’ dari orang tua maupun keluarga. Ketika lepas dari status pengangguran, alih – alih hanya mendapatkan kerja berkat bantuan serta pertolongan keluarga yang pada hari ini kita sebut nepotism.
·         Pengangguran pada umumnya: mereka ini adalah entitas sosial yang tak memiliki penghasilan atau kerja karena tidak mempunyai keterampilan serta ijazah SMA ataupun ijazah perguruan tinggi . mereka – mereka ini biasanya berasal dari kelas sosial yang kurang mampu sehingga tidak memiliki daya financial untuk bersekolah dan pada akhirnya terjerumus pada lingkaran setan kemiskinan tanpa upah dan tentu di pandang rendah secara sosial.

Sedikit – banyak gambaran tentang jenis pengangguran diatas merupakan gambaran objektif di lingkungan kita. Tatkala karena satu dan lain sebab, sehingga berakibat seseorang rela berada dalam posisinya yang menganggur. Indeks pengangguran dari tahun ketahun mengalami peningkatan, meskipun pemerintah mengklaim bahwa telah berhasil mengurangi angka pengangguran. Penyebab mendasarnya mungkin karena perguruan tinggi sebagai salah satu pencetak (mewisuda para sarjana - diploma) tidak memiliki keterampilan sama sekali bahkan dicetak secara instan. Pendidikan juga memiliki tanggung jawab atas fenomena sosial diatas selain peran pemerintah dalam menyediakan lapangan kerja.
Mengingngat Lirik lagu Iwan Fals: Engkau sarjana muda resah tak dapat mendapat kerja, mengandalkan ijazah mu.........

Palopo, 6 September 2014. Disaat yang lain sedang sibuk bermalam minggu dan tentunya mencari lowongan kerja ~